Dia adalah seorang guru “favorit” menurut murid-muridnya. Sosok yang memiliki perawakan tidak terlalu tinggi, dengan corak kulit sawo matang dan senyum yang sangat jarang terlukis di wajahnya tersebut, selalu menjadi buah bibir siswa. Tanpa terkecuali, mulai dari kelas satu hingga siswa akhir Madrasah Ibtidaiyah yang berada di salah satu sudut Jawa Barat ini, selalu waspada dan hati-hati ketika berpapasan dengan beliau.
Tapi, lain dulu lain sekarang. Setelah berpisah lebih dari tujuh tahun, tentu banyak hal yang berubah. Termasuk anggapan dan “keangkeran” itu sudah tidak terlihat lagi. Aura puas dan bangga terpancar dari wajah beliau ketika ia bertemu dengan salah satu muridnya yang baru datang dari luar negri. Pertanyaan demi pertanyaan keluar bergantian dalam perjumpaan guru-murid tersebut, untuk mengetahui keadaan masing-masing.
Namun, kapanpun dan bagaimanapun kondisinya saat ini, guru tetaplah guru dan murid tetaplah murid. Seorang guru selalu menginginkan hal yang terbaik bagi muridnya. Maka, pada kesempatan itu, beliaupun memberikan beberapa nasehat. Salah satu hal yang beliau tekankan pada muridnya adalah urgensi ilmu komunikasi bermasyarakat.
Beliau menjelaskan, jumlah orang pintar dengan tingkat kemampuan berfikir di atas rata-rata memang banyak. Namun, dari mereka hanya terdapat sebagian kecil yang mampu mentrasfer ilmunya sesuai dengan corak dan karakter masyarakat; dapat membaur dan menjalin komunikasi yang baik tanpa sekat kasta dan wibawa.
Keterampilan merajut hubungan harmonis dengan masyarakat adalah hal penting yang terkadang terlupakan oleh sebagian pelajar dan mahasiswa. Sebagian dari kita, terkadang hanya memfokuskan diri pada sisi peningkatan bekal keilmuan, dengan membaca literatur baik klasik maupun modern untuk memperluas khazanah wawasan spesialisasi masing-masing. Namun untuk bermuamalah dengan sesama, terkadang hal itu tidak diprioritaskan.
Padahal, diantara tujuan mempelajari itu semua adalah menyampaikannya kepada komunitas kita masing-masing. Dan penyampaian yang baik membutuhkan keluwesan seni interaksi. Bagaimana kita bisa menyampaikan dan mengarahkan masyarakat, jika kita sulit berinteraksi dengan mereka? Bagaimana masyarakat mau mendengar perkataan kita, jika mereka merasa masih ada sekat pembatas diantara kita dan mereka?
Nasehat ini sepertinya bukan dikhususkan bagi murid yang sedang ia jumpai. Pengalaman hidup beliau lah yang menjadikan ia merasa perlu menyampaikan pesan penting ini kepada muridnya. Dengan harapan, kelak sang murid dapat meraih kesuksesan baik dalam studi di bangku kuliah, ataupun dalam mentransfer ilmu dan hidup bersama masyarakatnya.
Terima kasih pak guru...! Jasa dan perhatianmu tidak akan kami lupakan. Doa kami selalu menyertaimu.
Read More
Posted by Abu Nashar Bukhari
|
Pada
Rabu, Januari 12, 2011
|
Manusia adalah makhluk yang unik. Allah Swt menciptakan manusia
dengan komponen yang sangat sempurna; jasad, jiwa, akal dan hati. Di antara beberapa unsur tersebut, hatilah yang paling sensitif. Ya, hati manusia memang sensitif. Hati manusia akan shock ketika dihadapkan dengan sebuah hal besar dan baru dalam kehidupan. Membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk memantapkan hati dalam keadaan tersebut. Usaha keras pun perlu dilakukan untuk meyakinkan kesiapan hati. Jasad, jiwa dan akal turut berperan mati-matian demi menghasilkan ketetapan hati yang mantap.
Mengapa hati sangat sulit ditaklukkan? Hati adalah salah satu unsur dalam diri manusia yang tidak bisa berbohong ataupun dibohongi. Hati manusia akan selalu berkata jujur. Ia akan selalu mengungkapkan kebenaran, walaupun akal dan jasad manusia memungkiri atau menutup-nutupi.
Maka, tidaklah salah ketika Rasul Saw. berkata dalam sabdanya bahwa dalam diri manusia terdapat sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh akan menjadi baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh pun akan rusak. Ya, dia adalah hati.
Di sisi lain, hati juga sangat sulit untuk ditenangkan ketika ia sedang mengalami goncangan. Ketika hati kecewa, seluruh unsur dalam tubuh manusia akan terkena imbasnya. Akal seakan berjalan di tempat. Sejenak ia akan merasa bingung untuk melakukan fungsinya; membedakan baik dan buruk, dosa dan pahala. Jiwa terasa hampa. Jasad terkulai lemah dan tak berdaya untuk melakukan apapun. Semua terjadi hanya karena hati.
Ada sebuah ungkapan berbunyi "lidah manusia lebih tajam dari pedang", mengapa demikian? Karena sasaran serang lidah adalah hati. Ketika hati terluka, maka untuk memulihkan dan membangkitkannya kembali dari keterpurukan akan sangat sulit sekali. Hati manusia ibarat kaca, jika kaca retak atau pecah, maka tidak akan ada yang bisa menyatukannya kembali. Jikapun bisa, pasti bekas retak masih akan terlihat.
Oleh karena itu, selaku muslim kita dianjurkan untuk selalu menjaga hati. Kejernihan dan kesucian hati sangat penting untuk dipertahankan. Karena menodai hati sama dengan membunuh diri. Biarkan hati mekar dan bersemi di tengah padang cinta ilahi. Menebarkan semerbak wangi ketakwaan. Menyegarkan pandangan dengan warna-warni ketaatan.
Jika hati terlihat layu, segarkanlah ia dengan Al-quran. Jika hati gersang, siramlah ia dengan air keridhoan. Jika hati menangis, usaplah air matanya dengan belaian kasih tuhan. Ya, hanya dengan kembali pada Allah Swt. hati dapat kembali tenang. Ajarilah hati agar dapat menerima semua takdir yang telah ditetapkan. Karena sesungguhnya, skenario Allah Swt. sangat indah. Di balik semua yang dirasakan hati, terdapat hikmah-hikmah ilahi. Selaku manusia, kita hanya bisa taat dan meyakini kebenaran itu semua. Karena hanya Allah Swt. yang maha mengetahui segala sesuatu. Allah Swt maha kuasa. Allah Swt. maha melihat dan mendengar. Allah Swt tidak akan menelantarkan hambaNya, sebagaimana Allah Swt tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Wallahu a'lam…
Read More
Posted by Abu Nashar Bukhari
|
Pada
Kamis, Oktober 14, 2010
|
Bangsa Palestina tidak pernah merasakan keamanan bernegara
sebagaimana layaknya bangsa yang berdaulat. Hal itu dikarenakan perang yang berkelanjutan untuk mempertahankan tanah air mereka dari tangan zionis yahudi. Salah satu dari rentetan peperang dengan bangsa penjajah itu adalah perang Arab Israel tahun 1948 yang merupakan perang perdana antara Israel dan Bangsa Arab. Selain itu, perang ini juga merupakan permulaan bagi rakyat palestina untuk memasuki deretan masa malapetaka dasyat (An-Nakbah) dalam sejarah. Dimana pada waktu itu, Israel berhasil merampas 77%wilayah Palestina dan mengusir kurang lebih 3/2 penduduknya.
Terjadinya perang ini merupakan bentuk protes bangsa arab atas dikeluarkannya resolusi PBB No. 181 tanggal 29 November 1947, yang membagi wilayah Palestina sebesar 54% kepada bangsa yahudi yang pada waktu itu hanya berjumlah 30% dari jumlah rakyat Palestina, dan 45% kepada bangsa arab, sedangkan 1% yaitu Al-Quds dijadikan wilayah internasional.
Kondisi dan Kekuatan Militer
Untuk lebih memahami perkembangan dan hasil dari perang ini, perlu kiranya kita menilik kondisi dan kekuatan tiap kubu yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.
A. Bangsa Palestina
Bangsa Palestina baru mengakhiri usaha perjuangan keras untuk melawan kolonialisme Inggris dan masih berada dalam tekanan hukum militer yang ketat selama berlangsungnya perang dunia ke-II (1939-1945).
Bangsa Palestina tidak memiliki sosok pemimpin yang berpengalaman dan cakap dalam bidang ekonomi dan politik dan mampu mengatur kekuatan serta memobilisasi masa untuk membela tanah air mereka.
Tidak sedikit dari pembesar bangsa Palestina tidak bisa masuk ke negaranya dikarenakan kondisi politik yang mengalami berbagai konflik internal maupun eksternal.
Perekonomian yang lemah mengakibatkan kekuatan militer Palestina tidak memungkinkan mereka untuk menambah persenjataan. Bahkan sebagian besar bantuan senjata dari negara-negara arab, sudah tidak layak pakai dan kwalitasnya dibawah rata-rata.
B. Negara-negara Arab
Kondisi sebagian negara-negara arab waktu itu masih berstatus jajahan negara asing atau baru merdeka dan belum memiliki kekuatan yang kuat untuk berperang.
Tentara arab tidak memiliki pengalaman perang yang cukup, karena belum pernah terjun langsung dalam peperangan. Bahkan sebagian dari mereka datang ke medan perang tanpa persiapan matang seperti tentara Irak. Selain itu, mereka juga tidak begitu mengetahui secara detail tentang keadaan Palestina.
Walaupun negara-negara arab telah mengambil alih perihal kemerdekaan Palestina, akan tetapi mereka tidak mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk berperang, bahkan terkesesan meremehkan eksistensi kekuatan militer bangsa yahudi yang berjuang mati-matian.
Tentara arab lemah dalam pengaturan strategi karena tidak meiliki pemimpin yang punya otoritas dalam menggabungkan kekuatan mereka.
Panglima tentara Yordania asal Inggris Jendral Jloub, melarang keras para pasukannya untuk keluar dari batas wilayah yang telah ditetapkan PBB. Dengan kata lain, tujuan keikutsertaan mereka dalam perang ini bukan untuk kemerdekaan Palestina akan tetapi demi memperjuangkan ketetapan PBB.
Bangsa yahudi berhasil menyusup kedalam barisan tentara Palestina untuk melemahkan kekuatan mereka, bahkan menyebarkan isu kepada tentara arab bahwa musuh mereka sebenarnya adalah bangsa Palestina. Sebagian tentara arab terhasut dan mereka akhirnya melucuti senjata dari tangan tentara Palestina.
Persenjataan tentara arab tergolong lemah bila dibandingkan dengan kekuatan militer yahudi karena mereka mendapatkan suplai senjata dari negara-negara besar.
C. Zionis Yahudi
Perkembangan bangsa yahudi dalam pembangunan sarana dan instansi dalam bidang pendidikan, ekonomi, militer, sosial dan politik sangat pesat terkhusus selama masa kolonialisme Inggris.
Para perwira tentara yahudi memiliki pengalaman dan wawasan yang luas dalam berperang maupun mengatur strategi.
Tentara yahudi mendapatkan dukungan politik, ekonomi dan militer dari negara-negara besar yang merasa akan mendapat keuntungan dengan berdirinya negara yahudi.
Zionis yahudi dapat mengerahkan tentara dengan persenjataan lengkap dengan jumlah 60-70 ribu tentara dan 26 ribu diantaranya berpengalaman dan pernah ikut serta dalam perang dunia II.
Menurut bangsa yahudi, perang ini adalah perang antara hidup dan mati dalam memperjuangkan eksistensi mereka. Dengan alasan ini, mereka berhasil mengerahkan kemampuan semaksimal mungkin untuk melawan Palestina dan mendapat dukungan dari kaum yahudi di seluruh dunia.
Kondisi ekonomi dan hubungan politik yang kuat dengan negara lain, memudahkan yahudi untuk menambah persediaan senjata dengan membelinya dari negara-negara besar.
D. Dunia Internasional
Selama tiga puluh tahun, Inggris berhasil mengembangkan dan memajukan bangsa yahudi. Disisi lain, bangsa Palestina terpuruk dan dihambat kemajuannya baik dalam bidang politik, ekonomi ataupun militer.
Eksistensi bangsa yahudi diuntungkan dengan dukungan dua kekuatan besar saat itu yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet, dengan ini mereka berhasil meraih kepercayaan internasional untuk membangun negara sendiri.
Inggris menggunakan kekuasaannya untuk menekan negara-negara arab (Mesir, Yordania dan Iraq) agar tentara mereka tidak menembus batas garis merah kekuasaan Inggris, sebagaimana mereka melarang datangnya bala tentara bantuan dari organisasi-organisasi arab seperti Al-Ikhwan Al-Muslimun yang berada di Mesir.
Keluarnya keputusan untuk melarang penjualan senjata kepada kubu bangsa arab dan tidak demikian halnya untuk kubu yahudi.
Perbandingan jumlah tentara antara dua kubu yang saling berperang menurut penelitian DR. Haitsam Al-Kailani dalam bukunya Strategi Militer Perang Arab-Israel, adalah sebagai berikut:
Masa sebelum masuknya tentara arab (Desember 1947 – Mei 1948)
Arab: 12.000 Yahudi:60.000
Masa ketika masuknya tentara arab
Arab: 21.000 Yahudi: 67.000
Akhir masa perang
Arab: 40.000 Yahudi: 106.000
Pada masa awal-awal peperangan, kekuatan militer resmi kubu bangsa arab terdiri dari 6.000 tentara Mesir, 1.500 tentara Suriah, 1.500 tentara Iraq, 4.500 tentara Yordania, 1.500 tentara Saudi Arabia dan 1.000 tentara Lebanon. Selama peperangan berlangsung, jumlah tentara Mesir bertambah hingga 20.000 tentara, begitu juga dengan negara-negara arab lainnya.
Kekuatan Militer Informal Bangsa Arab
Selain tentara dari negara-negara arab yang ikut membela Palestina, gerakan dan organisasi masyarakat arab pun turut andil dalam memperjuangkan tanah suci tersebut. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pasukan Al-Jihad Al-Muqaddas
Adalah sebuah pasukan yang dibentuk oleh Lembaga Tinggi Arab untuk Palestina dan dipimpin oleh Abdul Qadir Al-Husaini yang tewas dalam pertempuran Al-Qasthal pada 8 April 1948. Pasukan ini terdiri dari kurang lebih 10.000 tentara dengan persenjataan yang tergolong kurang, karena para pemimpin organisasi-organisasi arab bersekongkol dengan Lembaga Tinggi Arab untuk tidak menyalurkan bantuan berupa senjata ataupun uang kepada mereka. Karena hal itu, Abdul Qodir Al Husaini pemimpin pasukan ini, berseru dengan lantang dihadapan ketua Komite Militer Arab yang menolak untuk menyalurkan bantuan berupa senjata kepada mereka dan berkata: “Kalian adalah pengkhianat, kalian adalah penjahat, sejarah akan mencatat bahwa kalianlah yang menghancurkan dan menelantarkan Palestina.”
Pasukan ini tersebar disebagian besar kota dan desa di Palestina, juga memiliki peran penting dalam perlawanan akan tetapi fasilitas yang kurang memadai menghambat mereka untuk dapat lebih maksimal dalam
2. Pasukan Al-Inqadz
Pasukan ini berdiri berdasarkan ketetapan dari Al-Jamiah –Al Arabiyah. Mayoritas pionernya adalah sukarelawan dari negara-negara arab. Jumlah sukarelawan yang terdaftar dalam pasukan ini kurang lebih adalah 10.000 orang, akan tetapi yang berhasil masuk wilayah Mesir hanya sekitar 4.630 tentara.
Gerakan pasukan ini berpusat di wilayah bagian utara dan tengah Palestina dengan Fauzi Al-Qawaqaji sebagai pimpinan mereka. Komposisi barisan pasukan ini sangat beragam, mulai dari para tentara ahli hingga sukarelawan yang tidak punya wawasan perang sama sekali, diantara mereka yang bergabung terdapat para pemuda yang terpanggil oleh imannya dan memiliki tekad kuat tuk berkorban demi tanah air. Akan tetapi didapati juga dalam barisan ini para penyusup yang memanfaatkan kesempadan dalam kesempitan, dengan mengadakan operasi pencurian di daerah yang seharusnya mereka jaga. Hal ini memberikan dampak negatif khususnya kepada Fauzi Al-Qawaqaji, hingga ia dipandang sebagai pemimpin yang tidak becus dan tidak bertanggung jawab.
3. Al-Ikhwan Al-Muslimun
Keikutsertaan Al-Ikhwan Al-Muslimun pada perang Arab-Israel tahun 1948 menjadi salah satu contoh terbaik bagi gerakan dan organisasi arab yang memperjuangkan keutuhan umat islam. Para pengikut gerakan ini bersatu dari berbagai negara seperti Mesir, Yordania dan Iraq untuk mengadakan mobilisasi masa bersar-besaran dan mengumpulkan bantuan harta benda juga senjata untuk para tentara di Palestina.
Kronologi Perang 1948
Marhalah pertama perang Arab-Israel bermula pasca dikeluarkannya resolusi PBB no. 181tanggal 29 November 1947 hingga akhir masa kolonialisme Inggris dan masuknya tentara arab ke Palestina. Pada saat itu, persediaan senjata Palestina sangat kurang dan perekonomian mereka lemah. Sedangkan di sisi lain, yahudi justru mengimpornya senjata-senjata baru dan canggih dalam jumlah besar.
Konflik internal terjadi dan mengakibatkan kemunduran bagi Palestina khususnya pada bulan April 1948 pasca tewasnya Abdul Qadir Al-Husaini dalam pertempuran Al-Qasthal, dan peristiwa dibunuhnya Dir Yasin oleh tentara yahudi yang menyebabkan jatuhnya korban sebanyak 253 warga Palestina. Dengan itu, kota-kota penting di Palestina jatuh ke tangan yahudi diantaranya Tiberias takluk pada 19 April, Hiva pada 22 April, Bisan dan Shafd pada 12 Mei dan Yafa pada 14 Mei.
Pada awal-awal perang, pasukan arab menunjukkan keberhasilan yang lumayan. Tentara Mesir dapat menguasai garis wilayah Al-majdal – Al-Fallujah – Bait Jabrin – Al-Khalil dan garis Usdud – Al-Qasthina, juga berhasil mengisolasi tentara yahudi di An-Naqab. Sedangkan bala tentara Yordania memfokuskan penjagaan di daerah tengah Palestina yang mencakup Al-Quds, Ramallah dan daerah yang berjarak sekitar 10 km dari Tel Aviv. Hal yang sama juga dilakukan oleh tentara Iraq dan Suriah. Secara umum Palestina masih menguasai 80-82% luas wilayah hingga masuknya bala tentara negara-negara arab.Posisi tentara yahudi terancam di beberapa titik, namun di lain tempat mereka justru menguasainy seperti di sebagian utara Palestina pasca ditaklukannya kota Aka pada 17 Mei 1948.
Pada masa gencatan senjata pertama (11 Juni – 8 Juli 1948), berdasarkan keputusan Majlis Keamanan Internasional, yahudi mendapatkan bantuan berupa 40 pesawat tempur dan senjata berat lainnya. Sedangkan bangsa arab dilarang mengadakan transaksi jual beli senjata. Ketika perang kembali dimulai, dengan begitu mudah yahudi dapat memperluas jajahannya. Hanya dalam waktu tiga hari yahudi dapat menaklukkan kota Al-Lad dan Ramallah juga memperluas kekuasaan hingga tengah Palestina bagian timur.
Yahudi memanfaatkan masa gencatan senjata kedua untuk memperluas jajahannya. Mereka memfokuskan serangan besar-besaran pada 15 Oktober ke daerah selatan Palestina, hingga akhirnya terbukalah jalan bagi mereka untuk menggapai wilayah yahudi yang terisolasi disana.
Keadaan seperti ini terus berlanjut dan tentara arab pun satu persatu dapat dupukul mundur oleh yahudi, hingga takluknya wilayah utara Palestina pada 29-31 Oktober 1948. Dengan ini, yahudi berhasil menguasai 77% tanah Palestina dan mendirikan negara Israel di sana.
Tentara yahudi mengalami kesulitan yang luar biasa pada awal peperangan selama enam bulan akan tetapi setelah itu mereka dengan mudahnya merebut tanah-tanah palestina. Rakyat Palestina di tiap daerah telah berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan tanah air mereka, hingga tidak luput satu desa pun dari pengalaman perang dan kesediahan karena kekalahan yang diakibatkan kurangnya persediaan senjata dan strategi perang yang kurang canggih.
Pasca perang ini, bangsa yahudi mengusir sekitar 800.000 penduduk Palestina - dari jumlah keseluruhan satu juta jiwa - dari tanah mereka. Sekitar 290.000 warga Palestina mengungsi dan dilarang untuk kembali sampai saat ini.
Penutup
Perang Arab-Israel tahun 1948 merupakan wujud ketidakpuasan bangsa arab atas resolusi PBB yang membagi wilayah Palestina secara tidak adil. Bangsa yahudi yang berjumlah hanya 30% dari rakyat Palestina diberi 54% dan 1% dijadikan wilayah internasional sedangkan sisanya deserahkan pada bangsa arab.
Kekalahan bangsa arab dalam peperangan ini disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah kondisi militer yang belum cukup kuat dan berpengalaman serta ekonomi yang lemah. Di lain pihak bangsa yahudi mendapat bantuan dan dukungan internasional dari negara-negara yang merasa diuntungkan dengan berdirinya negara Israel. Selain itu, pihak yahudi berhasil menyusupkan beberapa utusannya untuk membuat konflik internal di tubuh bangsa arab dan mengacaukan konsentrasi mereka.
Tidak hanya pasukan-pasukan resmi dari tiap negara arab yang ikut andil dalam peperangan ini, gerakan dan organisasi masyarakat arab pun ikut serta membantu mempertahankan tanah Palestina tersebut seperti gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun.
Secara umum, rakyat Palestina dan bangsa arab telah berusaha sekuat tenaga melawan bangsa yahudi, namun Allah Swt. Memiliki rencana lain untuk hamba-Nya. Peperangan antara Palestina atau umat islam secara keseluruhan dengan yahudi tidak akan pernah berhenti. Maka, sudah selayaknya lah kita selaku sesama muslim turut andil dalam perjuangan tersebut dengan berbagai kemampuan yang kita miliki, agar segala bentuk kezaliman dapat diberantas dari muka bumi ini. Wallahu al-Muwafiq.
Read More
Posted by Abu Nashar Bukhari
|
Pada
Minggu, Mei 09, 2010
|
Seorang ustadz di madrasah agama sering mengatakan “Ala bisa
karena biasa”. Seseorang bisa menjadi pakar dalam suatu bidang, karena ia selalu menggeluti, mengkaji dan memperdalam pengetahuan tentang bidang tersebut. Bahkan seorang hafiz Al Quran yang berhasil menjuarai MTQ Nasional pun senantiasa mengulang hafalan agar selalu melekat di otaknya. Begitu juga dengan seorang pelajar atau mahasiswa, ia akan merasa lebih percaya diri dalam menjawab soal-soal ujian, ketika buku diktatnya berhasil dikhatamkan berkali-kali.
Manusia tidak akan begitu takut ketika diminta melakukan hal yang sudah menjadi kebiasaannya. Walaupun pada hakekatnya, kebiasaan tersebut pada awalnya adalah sesuatu yang asing. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan aktualisasi diri dalam proses pembiasaan, ia pun menjadi lebih mengenal dan rasa takut itu terkikis sedikit demi sedikit hingga akhirnya hilang ditelan masa.
Memang sudah merupakan fitrah manusia, ia akan merasakan sebuah gejolak dasyat ketika bertemu dengan suasana baru. Dibutuhkan sebuah adaptasi dan usaha keras untuk dapat menyesuaikan diri. Bertahap mengenal dan mempelajari apa yang baru ia hadapi.
Proses menuju sebuah kebiasaan bukanlah hal yang ringan. Persiapan lahir dan batin sangat diperlukan. Banyak manusia yang berguguran terhantam badai keputusasaan. Manusia tidak terlalu suka dengan tantangan. Mereka lebih menginginkan sesuatu yang instan, ringan dan tidak beresiko tinggi. Menghindar dari kerugian dan kegagalan adapah opsi yang sangat diminati.
Apakan manusia sudah lupa akan perjuangan baginda Nabi Saw. di awal masa dakwahnya. Cercaan dan hinaan bertubi-tubi dilontarkan. Siksaan dan pengucilan silih berganti dialami. Namun, beliau tetap berdiri kokoh bagaikan karang di tengah hantaman badai, memberikan contoh kepada seluruh umat manusia akan arti sebuah perjuangan, kegigihan dan ketegaran.
Pengutusan yang dialaminya merupakan sesuatu yang baru. Beliau merasa shock dan takut pada mulanya. Diriwayatkan dalam hadis Aisyah r.a., bahwa setelah Rasul Saw. menerima wahyu pertama kali di gua hira, Beliau langsung menemui Khadijah r.a. dengan wajah pucat dan keringat bercucuran. Kala itu, Rasul Saw. sedang berada diantara dua masa kehidupan; antra masa lalu dan masa depan. Masa yang telah beliau jalani selama 40 tahun dan masa dimana beliau dituntut untuk menyampaikan amanat kepada seluruh alam.
Adalah sebuah kewajaran ketika manusia merasa takut untuk menghadapi hal baru. Terutama jika hal tersebut merupakan sesuatu yang penting dan bersifat masif. Berbagai pertimbangan datang dan pergi dalam hati menyebarkan hama kebimbangan dan menggerogoti tunas keberanian. Ya, hanya dengan membasmi hama tersebut keberanian akan terus tumbuh subur. Azam yang tinggi dan tawakal kepada Allah Swt., adalah kunci utama untuk meraih kemenangan dalam pertempuran menuju proses pembiasaan.
Fenomena seperti ini sering dialami manusia dalam menjalani kehidupan. Perpindahan dari satu fase menuju fase yang lebih tinggi, selalu diiringi rasa gundah dan gelisah. Contoh ril yang sangat nyata adalah pengantin baru. Selama kurang lebih 25 tahun sang pria menjalani kehidupan seorang diri. akhirnya datanglah suatu masa dimana ia harus memasuki dunia baru, ia pasti akan merasakan gejolak dasyat dalam dirinya. Namun perasaan itu dapat diatasi seiring berjalannya waktu.
Siklus perpindahan jenjang marhalah manusia akan terus berlanjut hingga sampai di garis finish. Garis yang membuka gerbang dimensi lain yaitu alam kubur. Perjalanan manusia dari lahir hingga dewasa sangat penuh dengan lika-liku. Berbagai suasana timbul dan membuahkan pengalaman. Kenangan akan perjuangan hidup manusia akan selalu dikenang. Generasi penerus menjadikan pendahulu mereka kiblat dalam bergerak.
Hal baru yang dialami manusia merupakan variasi dalam proses menjalani kehidupan. Semakin banyak hal baru dialami, semakin indah dan bermakna kehidupan yang dijalankan. Tantangan hidup perlu dihadapi dengan ketegaran agar kita dapat menuju sebuah kemenangan. Cukuplah Nabi Muhammad Saw. sebagai panutan dalam mempelajari arti kegigihan. “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu, suri tauladan bagimu. Yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah…” (QS: Al Ahzab, 21). Wallahu a’lam
Read More
Posted by Abu Nashar Bukhari
|
Pada
Selasa, Maret 23, 2010
|
Kairo, Juma't, 07. 55 Clt
Hari ini Aku, Aivan dan Yusuf berencana pergi bersama ke perpustakaan Kairo yang ada di daerah Tahrir.
Kami berkumpul di depan gerbang dan langsung menuju halte untuk menunggu bus 926. Seperti sudah menjadi rahasia umum, menunggu di halte adalah hal yang paling membosankan. Hampir satu jam kami bertiga berdiri menunggu seperti patung, tapi bus itu pun tak kunjung datang.
Tanpa pikir panjang, kami langsung mencari taksi. Walaupun harus membayar berkali-kali lipat dari ongkos bus. Tapi dalam pandangan kami, itu lebih baik dari pada kami harus kehilangan waktu yang tentu lebih mahal.
Selama perjalanan kami tidak banyak berbicara, mungkin karena terlalu capek berdiri di halte. Aku dipaksa untuk duduk di kursi depan berdampingan dengan sopir yang pastinya adalah orang Mesir. Sebenarnya mereka berdua tau kalau aku tidak suka dengan orang Mesir. Sepertinya mereka sengaja berbuat demikian. Mereka memang terus berusaha mengubah pandangan negatifku, tapi mereka belum berhasil sampai saat ini. Bukan karena aku keras kepala. Namun, memang demikian fakta yang aku temukan di lapangan, mereka semua gak ada yang beres.
Taksi hitam putih tua melaju menyusuri jalan raya di Kairo. Pandanganku terus tertuju pada pemandangan yang ku lihat.
Gedung-gedung kotak berwarna coklat memang dominan di sini. Mobil-mobil tua terparkir tidak karuan di pinggir jalan. Lalulintas semrawut, lampu merah tidak dihiraukan. Pokoknya kacau.
Dalam batin aku berkata "Kok bisa aku berada di sini, di tempat seperti ini dan bersama orang-orang yang begini."
Aku menarik nafas panjang berusaha untuk menenangkan diri. Suasana di dalam taksi sepi, sunyi dan senyap tak satu pun diantara kami bertiga plus supir mengangkat suara. Hingga akhirnya orang yang duduk disampingku bertanya dengan nada sangat sopan
"Adek-adek ini sebenarnya mau kemana dan ada urusan apa di Tahrir?"
Aku tidak menghiraukan karena dalam benakku mungkin itu hanya basa-basi. Orang Mesir kan paling doyan basa-basi. Lain di bibir, lain di hati. Tapi tidak demikian dengan dua sahabatku yang duduk di belakang.
"Kami mau ke perpustakaan Kairo, Paman." Jawab Yusuf.
"Iya, kami ingin mencari referensi untuk tugas kuliah." Lanjut Aivan.
Sambil tersenyum, supir tersebut terus melanjutkan pembicaraan "Ooo…Jadi kalian ini mahasiswa di Al Azhar ya? Wah, beruntung ya kalian bisa belajar di sana. Sebenarnya paman juga ingin menjadi seperti kalian, tapi…"
Orang di sebelahku terus bercerita tentang dirinya yang ingin sekali kuliah di Al Azhar. Namun, karena keadaan yang tidak mendukung, ia akhirnya harus mengubur niatnya tersebut dan menjadi supir taksi demi membiayai ibu dan adik-adiknya. Sungguh dia memiliki tekad yang kuat. Dari caranya berbicara, sepertinya dia adalah orang yang sabar dan bertanggung jawab. Tapi, tetap aku tidak menghiraukannya.
"Paman! Stop…stop…stop… kami turun di sini saja." Pinta Aivan.
Kami bertiga turun. Karena sudah kesepakatan bersama, perjalan berangkat akulah yang bayar, maka langsung ku tanya supir itu:
"Berapa ongkosnya?"
"Gak usah dek! Paman sudah berjanji tidak akan memungut bayaran dari mahasiswa yang benar-benar belajar. Apalagi adek-adek ini datang dari negri yang sangat jauh. Semoga ilmu kalian bermanfaat."
Taksi butut yang kami tumpangi tadi langsung pergi setelah paman itu mengucapkan salam sambil tersenyum ramah. Dari tatapan matanya dapat ku lihat, sebenarnya paman itu ingin sekali melanjutkan studinya yang terputus.
Aku dan kedua sahabatku hanya bisa terheran-heran dengan kejadian tadi. Belum sempat kami mengucapkan salam dan terima kasih kepada paman itu. Kami hanya bisa mendoakan semoga Allah Swt. memudahkan segala urusannya di dunia dan di akhirat. Amin.
Kairo, Juma't, 09.35 Clt
Setelah berjalan kurang lebih dua puluh menit, akhirnya kami bertiga sampai di tempat yang kami tuju. Selama perjalanan, aku terus memikirkan kejadian tadi. Aku masih tidak percaya kalau ada orang Mesir yang seperti itu.
"Woi, mikirin apaan sih nt?" tanya Yusuf mengagetkanku.
"Eh… nggak!"
"Hayo… pasti mikirin kejadian tadi ya? Kaget ya kalau ada orang Mesir yang baek? Jangankan nt Ri, ane aja hampir gak percaya." Celetuk Aivan ceplas-ceplos seperti biasa.
Dalam batin aku bertanya "Atau jangan-jangan paman tadi bukan asli Mesir ya?"
Kami bertiga masuk kedalam gedung perpustakaan. Susananya memang agak sepi. Tidak terlalu banyak yang datang ke sini. Setelah berkeliling sebentar di depan meja informasi. Seorang ibu-ibu menghampiri kami.
"Maaf, adek-adek! Karena ini hari jum'at, maka perpustakaan baru dibuka nanti jam tiga siang." Sambil tersenyum ibu itu memberitahu kami. Kata-katanya sopan, beliau terlihat sangat ramah seperti menganggap kami adalah anak-anaknya.
"Kalau mau, adek-adek bisa istirahat dulu di rumah ibu sambil menunggu shalat jum'at. Rumah ibu ada di sebrang jalan."
"Terima kasih, bu! Kami ingin jalan-jalan saja di sekitar sungai Nil. Kebetulan juga kami ada keperluan lain."
"Ya sudah kalu begitu hati-hati ya! Ibu pamit dulu."
Lagi-lagi aku tidak percaya dengan yang aku alami hari ini. Apa aku sedang bermimpi?
"Ari, Aivan! Tanggal berapa ya sekarang? Kok bisa hari ini kita ketemu dua orang Mesir yang baek dan ramah banget?" Tanya Yusuf heran.
"Iya ya, kayaknya Allah mau kasih pelajaran buat Ari deh, hehehe… Masih nganggap semua orang Mesir gak beres Ri?" Tanya Aivan plus nyindir.
"Au ah gelap." Jawabku singkat.
Kairo, Juma't, 13. 25 Clt
Setelah shalat Jum'at di Masjid samping Hotel Hilton, kami bertiga kembali berjalan-jalan di sekitar sungai Nil. Kurang lebih setengah jam kami menikmati indahnya aliran Nil. Kapal-kapal berlalu-lalang dengan layar yang berwarna-warni. Dari atas kapal kami meliahat anak-anak kecil melambaikan tangan pada kami seraya mengucapkan "Selamat siang 'ammu!" dan kami balas itu semua dengan senyuman plus lambaian tangan. Mereka terlihat begitu senang.
"Eh… Kita pulang aja yuk! Besok deh kita kesini lagi." Pintaku kepada dua sahabatku.
Mereka berdua pun setuju dan kami langsung menuju halte bus. Ketika kami ingin menyebrang jalan, tiba-tiba…
Gubrak…
Disebrang jalan kami melihat nenek tua terjatuh ditabrak seseorang berkulit hitam dan berbadan tinggi, yang pasti dia bukan orang Mesir. Orang itu sepertinya sedang terburu-buru, ia pun tidak menghiraukan sang nenek dan meninggalkannya begitu saja. Nenek tersebut kira-kira berumur 65 tahun dan menggunakan busana muslim hitam. Seluruh tubuhnya tertutup rapi dengan sebuah tongkat di tangan kanannya.
Orang-orang Mesir yang ada di sekitar situ segera membantu sang nenek. Sebuah mobil sedan langsung berhenti dan menawarkan jasa untuk membawa nenek ke rumah sakit. Salah satu diantara mereka segera berlari dan mengejar orang hitam tadi, sedangkan yang lain ada yang membantu memapah nenek tersebut menuju mobil untuk segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Doa-doa demi keselamatan nenek tersebut terus terdengar dari mulut setiap orang yang berada di sana. "Rabbuna Yusahhil" "Rabbuna Yasyfiha" "Allahumma Ihfadzha".
Mereka terlihat begitu kompak dan perhatian. Rasa solidaritas tergambar begitu jelas dari apa yang kami lihat. Kami segera menuju tempat itu untuk memberikan sedikit bantuan apa yang kami bisa. Namun seorang bapak justru melarang kami dan berkata:
"Kalian tidak perlu repot-repot karena kalian adalah tamu kami di sini, terima kasih atas kepedulian kalian. Semoga dibalas oleh yang Maha Kuasa."
"Semoga Allah menjaga nenek tadi." Jawabku.
"Amin"
Kami bertiga kembali melanjutkan perjalanan ke halte. Hanya lima menit kami menunggu, bus 926 akhirnya datang. Selama perjalanan kami berbincang-bincang tentang kejadian tadi. Kami berharap semoga sang nenek baik-baik saja.
Bus kota jurusan Tahrir-Hay Sabi' itu terus melaju menyusuri jalan-jalan raya di kota Kairo. Entah mengapa, pemandangan sepanjang jalan pulang ini agak berbeda dengan apa yang ku lihat ketika berangkat. Gedung-gedung kotak berwarna coklat itu seakan tersenyum padaku. Mobil-mobil kotor yang terparkir di pinggir jalan seakan melambai-lambaikan tangan, sepertinya mereka ingin berkata "Hati-hati di jalan Ari!" Bahkan sampah yang berserakan terlihat seperti menari ria seiring dengan irama tiupan angin padang pasir yang berhembus. Mereka semua terlihat ceria dan bahagia ketika melihatku.
Kairo, Juma't, 20. 55 Clt
Karena sedikit lelah, setelah shalat isya aku langsung berbaring di atas kasur. Seperti biasa aku kembali mengingat semua yang telah ku lakukan hari ini. Senyuman paman supir taksi yang sangat ramah dan dermawan, perhatian seorang ibu yang kami jumpai di perpustakaan, lambaian tangan anak-anak kecil di sungai Nil, kejadian sang nenek hingga bapak yang sangat sopan dan menghormati kami. Semuanya tergambar jelas di benakku.
Tiba-tiba pikiranku melayang ke tanah air Indonesia. Apakah bisa aku menyaksikan hal-hal menakjubkan ini di Jakarta? Jika yang jatuh adalah nenekku, apakah beliau akan diperlakukan seperti ini? Apakah orang indonesia akan menghormati orang asing, sebagaimana bapak tua itu menghormati kami?
Tanpa sadar, aku meneteskan air mata. Bukan karena aku rindu dengan orang-orang yang kusayangi di Indonesia. Aku menyesal. Selama ini aku terlalu berburuk sangka terhadap orang-orang Mesir, dan benar apa yang selalu dikatakan kedua sahabatku bahwa tidak semua dari mereka seperti yang aku bayangkan. Ternyata aku salah menilai mereka selama ini. Kalau tidak karena kebaikan mereka, tidak mungkin aku, Aivan, Yusuf dan semua mahasiswa asing lainnya dapat belajar di sini. Kami semua diberi tempat tinggal dan beasiswa. Kami diperlakukan seperti anak-anak mereka.
"Ya, Allah! Terima kasih engkau telah membuka mata hatiku."
Tak satupun orang di dunia ini yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah Swt.. Setiap orang pasti memiliki sisi gelap, namun tidak bisa dipungkiri ia juga pasti memiliki sisi terang. Seharusnya aku bisa lebih adil dalam menilai siapapun, apapun dan dimanapun.
"Atahgfirullah"
"Atahgfirullah"
"Atahgfirullah."
Read More
Posted by Abu Nashar Bukhari
|
Pada
Selasa, Maret 16, 2010
|
Kairo, Kamis, 05.15 Clt
Udara pagi Kairo terasa begitu menusuk tulang. Angin musim dingin pun bertiup
kencang, seakan menghalang-halangi setiap mahasiswa di asrama yang ingin beranjak dan pergi ke masjid untuk shalat shubuh berjamaah. Hangatnya selimut dan empuknya kasur menjadi pilihan terakhir. Aku pun terus terlelap dalam mimpi-mimpi indahku hingga akhirnya…
Kriiiiiiiing… kriiiiiiiing…
Jam waker pemberian ibuku berdering menunjukkan pukul 05.15 pagi waktu Kairo. Aku terbangun dan langsung menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Belum selesai aku membasuh kedua kaki, aku mendengar suara dari speaker masjid
"Assalamualaikum warahmatullah… assalamualaikum warahmatullah."
"Huff… Astaghfirullah, telat lagi telat lagi" kataku dalam batin.
Kairo, Kamis, 06.10 Clt
"Shadaqallhul adzim" Aku letakkan Al Qur'an di atas meja dan seperti biasa, setelah membacanya aku pergi ke suthuh (atap) gedung dimana aku tinggal untuk menikmati indahnya pemandangan pagi kota Kairo.
Kuarahkan pandanganku ke arah barat, kulihat rumah-rumah kubus khas arab tersusun rapi di atas bukit indah Daweaqah. Jalan-jalan raya terlihat sepi hanya satu atau dua mobil saja yang berlalu-lalang. Sang mentari mulai terbangun dari tidurnya dan siap untuk menyinari dunia. Namun tetap aktivitas masyarakat di sini belum dimulai.
Pikiranku terbang dan melayang ke negri-negri lain. Kubayangkan apakah Jepang, Singapore dan China juga seperti ini?
"Jangankan Jepang, Indonesia saja tidak seperti ini." Batinku menjawab.
Walaupun Indonesia jauh berada di bawah Jepang, namun dalam hal ini Indonesia tidak terlalu berbeda. Di Indonesia, bisa kita lihat para pedangang sudah memulai aktivitasnya sejak dini hari. Pasar-pasar ramai. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, jalan-jalan raya sudah ramai sebelum matahari terbit. Para pegawai kantoran sudah bersiap-siap untuk bekerja sejak shubuh.
HPku bergetar...
"Halo, assalamualaikum…"
"Wa'alaikum salam, sehat Ri?
"Alhamdulillah… sehat, ada apa Van?"
"Ri… berangkat kuliah kan? Bareng ya, ntar kita ketemu depan gerbang"
"Insya Allah, ane tunggu jam 07.30 ya di sana!"
"ok."
Aivan adalah sahabatku, dia berasal dari Padang. Kami satu rombongan ketika berangkat ke Mesir. Sekarang kami duduk di tingkat IV Fakultas Ushuluddin di Al Azhar University.
Kairo, Kamis, 07.40 Clt
Aku sudah berada di depan gerbang asrama. Tapi, Aivan belum juga datang. Entah mengapa, hari ini aku merasa tidak begitu bersemangat. Aku merasa bosan menjalani aktivitas yang monoton di Mesir. Aku malas, tiap hari harus berdesak-desakan dalam bus kota. Apalagi kalau kecopetan. Tiap hari aku harus berusaha sabar menghadapi watak kasar orang mesir. Mereka suka berteriak-teriak, tidak punya sopan santun dan cepat marah. Yang jelas dalam pandanganku semua orang Mesir sama. Mereka kasar, pemarah, malas dan tidak disiplin.
"Ri…! Sorry aku telat, tadi ada telpon dari Indonesia jadi aku harus…"
"Iya, iya... santai aja"
"Eh…tu ada bus 80 coret. Yuk, siap-siap."
"Wah tumben kok gak lama ya... Biasanya harus nunggu berjam-jam dulu baru bisa dapat bus ini."
"Hehehe…itu gara-gara nt berangkat kuliah bareng ane."
"Cuih… dasar dah telat, ke-PD-an lagi."
"Peace bro! becanda, kayak nggak tau ane aja?"
Bus 80 coret meluncur menuju kawasan Darasah dimana kampus kami berada. Seperti biasa bus ini penuh. Yah, maklumlah namanya juga bus favorit mahasiswa asing atau lebih tepat dikatakan bus internasional, karena yang ada dalam bus ini mayoritas adalah duta-duta bangsa. Ada mahasiswa Afrika dengan warna kulitnya yang khas. Ada yang dari China, India, Pakistan, Bangladesh, Malaysia, Thailand, Rusia dan yang pasti mahasiswa Indonesia juga ada. Kadang aku berfikir dunia ini begitu sempit, Kok bisa mereka berkumpul di dalam bus ini?
Tapi yang jelas, mereka tidak seperti orang Mesir. Buktinya mereka rela meninggalkan saudara-saudara tercinta demi menimba ilmu di sini. Itu berarti mereka rajin dan disiplin. Mereka juga ramah dan tidak cepat marah.
"Woi Ri! Nt kenapa bengong? Gak baik ngelamun pagi-pagi."
"Eh…nggak."
"Ayo turun dah nyampe nih. Ntar kita telat lagi."
Kami pun langsung menuju ruang kuliah untuk mengikuti pelajaran. Untuk hari ini kami punya empat mata kuliah. Semuanya akan diujikan pada termin pertama. Jadi, mau tidak mau kami harus hadir sampai akhir.
Kairo, Kamis, 16. 15 Clt
Menjelang sore hari, mata kuliah keempat akhirnya selesai. Semua mahasiswa bersiap-siap untuk pulang ke tempat tinggal masing-masing.
"Huff…capek juga ya…! Eh Van, shalat ashar dulu yuk!"
"Yup, kita shalat di masjid Al Azhar ya, Ri."
"Ok."
Masjid Al Azhar merupakan masjid terbesar di kawasan Darasah. Selain arsitekturnya yang indah, masjid ini juga memiliki nilai sejarah. Sebelum kampus Al Azhar dibangun, aktivitas belajar dulunya diadakan di sini. Dari masjid ini juga lahir ulama-ulama ternama seperti Ibnu Hajar Al 'Asqolani.
Setelah shalat ashar berjama'ah, Aku dan Aivan duduk-duduk di teras masjid sambil istirahat. Aku pun meluruskan kaki untuk menghilangkan capek dan tiba-tiba…
"Aaaaw…!"
"Woooi… Punya mata nggak sih nt, kalo jalan yang bener dong!" Aku marah dan berteriak-teriak kepada orang Mesir yang menginjak kakiku. Tapi dia cuek dan langsung pergi seperti tidak terjadi apa-apa.
"Van! Liat, kayak gini nih sifat orang Mesir. Makannya dari awal ane dah gak suka bergaul sama mereka. Mereka angkuh, kasar dan gak sopan. Nt liat sendiri kan?"
"Sabar Ri! gak semua orang Mesir begitu kok. Mungkin dia lagi buru-buru."
"Sabar sih sabar Van, tapi masa dia gak nengok blas. Kampret…!"
"Ri, istighfar…!" Aivan agak sedikit mengangkat suaranya. "Kalau nt marah dan kasar sama dia, apa bedanya nt dengan orang Mesir yang nt bilang angkuh, pemarah dan tidak sopan?"
Aku terdiam setelah mendengar teguran atau mungkin bisa dibilang nasehat dari sahabatku. Dia juga akhirnya demikian setelah beristighfar dan minta maaf padaku. Sejenak kami saling diam, hingga akhirnya kami melihat dari arah gerbang masjid, seorang mahasiswa Indonesia melambaikan tangannya pada kami.
"Aivan, Ari apa kabar?"
Dia adalah Yusuf. Aku dan Aivan mengenalnya karena kami memang satu angkatan. Dia orang nya pintar, nilai mata kuliahnya juga bagus-bagus. Kami sering meminjam buku catatannya karena dia paling rajin hadir kuliah diantara kami bertiga.
"Pulang yuk! Dah sore nih." Ajak Yusuf.
"Ayok, dari pada di sini nemenin orang Indo yang lagi marah gak karuan, mendingan pulang. Hehehe…" Jawab Aivan ceplas-ceplos sekenanya.
"Van! Awas nt ya, gak ana bayarin ongkos pulang lo…" balasku sambil bercanda.
"Biarin, emang gue pikirin. Kan ada Yusuf yang bayarin, hehehe…"
"Woooi, tungguin! Ane jangan ditinggal dong." Teriakku sambil setengah berlari.
Akhirnya kami pulang bersama. Suasana kembali cair. Sepanjang jalan kami bertiga bercerita tentang banyak hal. Tapi, yang pasti bukan tentang orang Mesir karena mereka tau aku tidak begitu suka dengan orang Mesir. Terkadang aku sadar kalau sikapku memang berlebihan. Tapi itulah yang tiap hari aku temukan. Hanya sisi negatif orang Mesir yang aku dapatkan selama ini.
Kairo, Kamis, 22. 15 Clt
Seperti biasa, aku kembali mengingat apa yang telah aku lakukan hari ini. Aku selalu mengevaluasi kegiatanku sebelum tidur. Tiba-tiba aku teringat akan kejadian di masjid Al Azhar. Kembali perasaan tidak sukaku terhadap orang Mesir timbul. Namun aku juga ingat kata-kata sahabatku:
"Kalau nt marah dan kasar sama dia, apa bedanya nt dengan orang Mesir yang nt bilang angkuh, pemarah dan tidak sopan?"
Aku hanya bisa merenungi kejadian hari ini. Timbul pertanyaan dalam hati, apakah selama ini aku salah menilai mereka? Ya Allah, berilah petunjuk-Mu pada hamba yang lemah ini. Sambil terus merenung, tak terasa dunia semakin gelap. Udara semakin dingin. Asrama pun mulai terlihat sunyi dan senyap. Aku pun terlelap.
To be continued...
Read More
Posted by Abu Nashar Bukhari
|
Pada
Sabtu, Maret 13, 2010
|
Manusia adalah makhluk yang lemah dan mudah terlena. Dalam
sekejap, keindahan dunia dapat menutup pintu logika akal dan hati mereka. Nafsu setan pun berkuasa. Mereka menganggap dunia adalah segalanya, seakan lupa bahwa sesungguhnya di balik keindahan semu duniawi terdapat suatu masa yang kekal dan abadi.
Di sebuah desa terpencil terdapat seorang pemuda yang sangat sayang dengan ayam peliharaannya. Pada suatu hari, ayam tersebut sakit. Ia pun bingung setengah mati dan langsung pergi ke dokter. Tanpa menunggu lama, ia pun langsung memberitahukan apa yang terjadi dan dialami ayam kesayangannya. Sang dokter berkata “Nak, kamu punya onta merah merah di rumah?”
Si pemuda hanya menganggukkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata. “Kalau begitu, sekarang kamu pulang dan sembelih onta tersebut. Kemudian kamu rebus. Setelah itu, kamu minumkan kaldunya kepada ayam ini.” Saran sang dokter. Pemuda itu bingung, lalu berkata “Dok, masa saya harus mengorbankan onta yang harganya ratusan juta hanya untuk ayam ini?” dengan tenang sang dokter menjawab “Beginilah perumpamaan mereka yang mengorbankan akhirat demi dunia.”
Kisah inspiratif di atas menunjukkan kerugian besar bagi mereka yang mengedepankan nikmat dunia dan melupakan akhirat. Karena sesungguhnya dunia ini hanyalah terminal kehidupan, tempat manusia singgah sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan.
Kehidupan manusia di dunia dibatasi oleh waktu yang sangat kejam. Ia tidak pernah pandang bulu dalam bermuamalah. Orang kaya, miskin, terpelajar ataupun mereka yang tertinggal mendapatkan porsi yang sama. Mereka semua memiliki 24 jam dalam sehari, 720 jam dalam sebulan dan 8760 jam dalam setahun. Bahkan, mereka tidak diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu, walau hanya satu detik. Maka, tidaklah heran jika sebagian orang menjadikan waktu sebagai icon keadilan.
Dalam sebuah artikel, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A. mengutip sebuah ungkapan dari buku Syuruth An-Nahdhah karangan Malik bin Nabi. Ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi Saw. tersebut berbunyi:
Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru “Putra-putri Adam, aku adalah waktu, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi hingga hari kiamat.”
Kemudian, tulis Malik Bin Nabi lebih lanjut: Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala. Melintasi pulau, kota dan desa. Membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Segala sesuatu –selain Tuhan- tidak akan mampu melepaskan diri darinya.
Islam sangat memperhatikan waktu, bahkan menganjurkan seluruh penganutnya agar dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Begitu besar peran waktu dalam kehidupan, hingga Allah Swt. berkali-kali bersumpah dalam Al Quran dengan menggunakan berbagai kata yang menunjukkan waktu-waktu tertentu, seperti wal ‘ashr (Demi masa), wal fajr (Demi fajar), wal laili idzâ yaghsyâ (Demi malam apabila menutupi –cahaya siang-) dan lain sebagainya.
Rasul Saw. juga selalu memperingatkan para sahabatnya agar selalu memperhatikan waktu. Dalam kitab-kitab hadis, dapat kita temukan segudang riwayat yang menjelaskan hal ini. Diantaranya, sebuah hadis dari riwayat Al Baihaqi, yang menyuruh umat muslim agar selalu ingat dan memanfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara lainnya, hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, luang sebelum sibuk, muda sebelum tua dan kaya sebelum miskin.
Semua manusia berada dalam keadaan merugi, apabila tidak mengisi waktunya dengan perbuatan baik. Manusia akan mendapatkan hasil yang setimpal atas segala yang dilakukannya di muka bumi. Perbuatan baik berbuah kenikmatan, perbuatan buruk menghasilkan siksaan. Maka, selagi waktu masih terbentang, seorang muslim dituntut untuk selalu mempersiapkan bekal. Dan sebaik-baiknya bekal adalah ketakwaan pada Sang Pencipta.
Kendati demikian, banyak manusia yang terlena dengan waktu. Mereka berleha-leha dalam menjalani hidup dan lupa bahwa porsi waktu mereka tiap hari kian berkurang. Tanpa disadari, manusia terus berjalan menuju garis finish kehidupan. Menghadapi rintangan goadaan setan yang menggiurkan. Di sinilah kepekaan manusia akan ajaran tuhan diuji. Apakah mereka akan menggapai kemenangan? Ataukah mereka termasuk golongan yang merugi?
Allah Swt. berfirman: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, saling menasehati agar mentaati kebenaran dan saling menasehati agar menetapi kesabaran.” Wallâhu a’lam bi ash shâwab.
Read More
Posted by Abu Nashar Bukhari
|
Pada
Senin, Maret 08, 2010
|