Menyikapi Hitam Putih Kehidupan

Sudah merupakan sunnah Sang Pencipta bahwa segala sesuatu di alam ini terdiri dari dua unsur yang saling bertentangan. Ada hitam maka ada putih, ada panas maka ada dingin, ada api maka ada air. Oleh karena itu, tidaklah heran jikalau sering didapati kejahatan selalu diiringi kebaikan.
Kejahatan dan kebaikan adalah dua sisi yang tidak pernah keluar dari ruang lingkup kehidupan manusia, karena memang hal inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainya. Manusia diberikan ikhtiyâr untuk menentukan jalan hidupnya, walaupun pada hakekatnya ketentuan hidup manusia sudah ter-maktub dan ditetapkan sejak dahulu kala. Dalam sebuah hadist dari Abdullah bin Mas’ud ra. Rasulullah Saw. bersabda: “… kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya, lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : rizki, ajal, amal dan celaka/bahagianya…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Memang benar pendapat yang mengatakan pengibaratan orang yang baru lahir seperti secarik kertas putih yang bersih.
Pada masa ini, manusia masih dalam keadaan netral. Kemungkinan untuk berbuat baik dan menjadi hamba yang taat terbuka sangat lebar, sebagaimana tidak tertutup kemungkinan yang menjerumuskannya ke dalam jurang kesesatan dan menjadikanya hamba nafsu syetan. Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Fithratallâh allatî fathara an nâsa ‘alaihâ”. (QS. Ar-Rûm: 30)

Pun dalam sebuah hadist Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad bin Hambal radhiallâhu ‘anhum, “Mâ min maulûdin illâ yûladu ‘ala al fithrah fa abawâhu yuhawwidânihi au yunashshirânihi au yumajjisânihi”.

Selamanya dua hal yang saling bertentangan - hawa nafsu dan iman - akan membayangi kehidupan manusia dimanapun ia berada. Banyak diantara kita yang berhasil mengedepankan imannya sehingga masuk dalam golongan orang-orang yang beruntung. Namun tidak bisa dipungkiri, bahwa tidak sedikit diantara mereka yang terkalahkan oleh hawa nafsu hingga masuk dalam golongan orang-orang yang merugi.

Ingatkah kita bahwa sebenarnya hawa nafsu adalah puncak segala maksiat dan dosa. Apabila manusia menjadi hamba nafsu, maka musnahlah hidupnya. Segala kebaikan tidak akan terlihat lagi. Bahkan segala kejahatan dilihatnya sebagai suatu yang mulia. Semua ini semata-mata hanyalah bisikan iblis dan syetan kepada manusia. Padahal Nabi Muhammad Saw. dengan jelas menegaskan dalam hadistnya dari Abu Muhammad, Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. telah bersabda: “Tidaklah sempurna iman seseorang diantara kamu sehingga hawa nafsunya tunduk kepada apa yang telah aku sampaikan”. (Hadits hasan shahīh dalam kitab Al-Hujjah).

Sepintas kita tidak menemukan anjuran untuk tidak tunduk kepada hawa nafsu, akan tetapi Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa kesempurnaan iman seorang hamba terkait dengan kemampuannya dalam memerangi dan mengalahkan hawa nafsu serta menggiringnya agar sejalan dengan Al-Qur’an dan As- Sunnah. Inilah yang disebut oleh sebagian ulama dengan jihâd akbar.

Istilah jihâd akbar sangat populer di telinga kita, bahkan tidak sedikit dari kita yang mengaitkannya dengan sabda Rasul Saw.. Padahal, lafadz ini ditetapkan oleh para ulama hadist bukan sabda Nabi Saw. melainkan perkataan orang lain, yaitu Ibrahim bin Abalah. Imam Adz Dzahabi dalam kitabnya - Siyar A’lâm an Nubalâ - halaman 352, jilid 6 menyebutkan bahwa Ibnu Abi Abalah berkata, “Kalian telah pulang dari jihâd asghar, lalu apa yang kalian perbuat untuk menghadapi jihâd akbar (melawan hawa nafsu)?”

Bahkan seorang muhaddist kontemporer, Syeikh Nashiruddin al-Albani menyebutkan dalam kitab Silsilah Ahâdits Dha’īfah, jilid 5, hadist nomor 2460, bahwa hadist tersebut - jihâd akbar - diingkari (munkar).
Akan tetapi terlepas dari status hadist marfû’, mauqûf, maqthû’ atau bahkan bukan ketiganya, perang melawan hawa nafsu merupakan kewajiban kita semua selaku hamba Allah Swt.. Banyak nash dalam Al-Qur’an yang menjelaskan betapa bahayanya akibat tunduk pada nafsu, baik itu secara eksplisit maupun implisit, seperti ayat yang menceritakan kisah Nabi Adam As. dan istrinya Hawa ketika berada di surga. Hanya sekali mereka mengikuti hawa nafsu dan bisikan setan, mereka harus mendapatkan teguran yang amat berat hingga diturunkan ke dunia. Begitu juga dengan kisah nabi Nuh As. ketika mengikuti kata hatinya dan berdoa kepada Allah Swt. agar menyelamatkan anaknya dari bahaya banjir, maka Allah Swt. menegurnya: “Fa lâ tas’alni mâ laisa laka bihi ‘ilmun”. (QS. Hud 46)

Begitu pula dengan As-Sunnah. Berkali-kali Nabi Saw. menganjurkan sahabatnya untuk menjaga diri dari syahwat dan nafsu syetan. Dalam salah satu hadist riwayat Imam Muslim diceritakan bahwa Rasul Saw. memberitahukan kepada para sahabatnya tentang sebuah amalan yang dapat menghapus dosa dan mengangkat derajat seseorang, diantaranya banyak melangkahkan kaki ke masjid dan selalu menunggu datangnya waktu shalat. Dalam syarh-nya Imam Muslim menjelaskan hikmah dibalik amalan tersebut, diantaranya agar kita selalu terjaga dan merasa bahwa Allah Swt. selalu mengawasi kita kapan pun dan dimana pun kita berada, karena pergi ke masjid dan selalu menunggu datangnya waktu shalat menjadikan kita selalu ingat kepada Sang Pencipta. Maka secara tidak langsung kita menjaga diri dari segala perbuatan tercela yang disebabkan oleh kelalaian dan hawa nafsu.

Demikian pula hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari ra., Rasul Saw. menganjurkan kepada siapa yang telah siap - lahir dan batin - untuk menikah, dan kepada yang belum siap Rasul Saw. menganjurkan mereka untuk berpuasa karena dengan itu seseorang dapat menahan hawa nafsunya.

Jelaslah bahwa nafsu dan syahwat merupakan sebab utama dari setiap permasalahan. Karena sumber keduanya tidak lain adalah bisikan iblis dan syetan. Segala bentuk problematika kehidupan harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah agar ditemukan penyelesaiannya. Segala jenis kejahatan hendaknya selalu diikuti dengan kebajikan. Rasul Saw. bersabda dalam riwayat Imam Ahmad: “Idzâ ‘amilta sayyiatan fa atbi’hâ hasanatan tamhuhâ.” Dengan demikian kita selalu ingat kepada Allah Swt. dan terjaga dari semua perbuatan tercela. Wallâhu ‘alam bi as shawâb.
Read More

Posted by Abu Nashar Bukhari | Pada Minggu, Oktober 11, 2009 | 0 komentar