Memasuki Dunia Baru

Seorang ustadz di madrasah agama sering mengatakan “Ala bisa karena biasa”. Seseorang bisa menjadi pakar dalam suatu bidang, karena ia selalu menggeluti, mengkaji dan memperdalam pengetahuan tentang bidang tersebut. Bahkan seorang hafiz Al Quran yang berhasil menjuarai MTQ Nasional pun senantiasa mengulang hafalan agar selalu melekat di otaknya. Begitu juga dengan seorang pelajar atau mahasiswa, ia akan merasa lebih percaya diri dalam menjawab soal-soal ujian, ketika buku diktatnya berhasil dikhatamkan berkali-kali.

Manusia tidak akan begitu takut ketika diminta melakukan hal yang sudah menjadi kebiasaannya. Walaupun pada hakekatnya, kebiasaan tersebut pada awalnya adalah sesuatu yang asing. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan aktualisasi diri dalam proses pembiasaan, ia pun menjadi lebih mengenal dan rasa takut itu terkikis sedikit demi sedikit hingga akhirnya hilang ditelan masa. 

Memang sudah merupakan fitrah manusia, ia akan merasakan sebuah gejolak dasyat ketika bertemu dengan suasana baru. Dibutuhkan sebuah adaptasi dan usaha keras untuk dapat menyesuaikan diri. Bertahap mengenal dan mempelajari apa yang baru ia hadapi.
Proses menuju sebuah kebiasaan bukanlah hal yang ringan. Persiapan lahir dan batin sangat diperlukan. Banyak manusia yang berguguran terhantam badai keputusasaan. Manusia tidak terlalu suka dengan tantangan. Mereka lebih menginginkan sesuatu yang instan, ringan dan tidak beresiko tinggi. Menghindar dari kerugian dan kegagalan adapah opsi yang sangat diminati.

Apakan manusia sudah lupa akan perjuangan baginda Nabi Saw. di awal masa dakwahnya. Cercaan dan hinaan bertubi-tubi dilontarkan. Siksaan dan pengucilan silih berganti dialami. Namun, beliau tetap berdiri kokoh bagaikan karang di tengah hantaman badai, memberikan contoh kepada seluruh umat manusia akan arti sebuah perjuangan, kegigihan dan ketegaran.

Pengutusan yang dialaminya merupakan sesuatu yang baru. Beliau merasa shock dan takut pada mulanya. Diriwayatkan dalam hadis Aisyah r.a., bahwa setelah Rasul Saw. menerima wahyu pertama kali di gua hira, Beliau langsung menemui Khadijah r.a. dengan wajah pucat dan keringat bercucuran. Kala itu, Rasul Saw. sedang berada diantara dua masa kehidupan; antra masa lalu dan masa depan. Masa yang telah beliau jalani selama 40 tahun dan masa dimana beliau dituntut untuk menyampaikan amanat kepada seluruh alam.

Adalah sebuah kewajaran ketika manusia merasa takut untuk menghadapi hal baru. Terutama jika hal tersebut merupakan sesuatu yang penting dan bersifat masif. Berbagai pertimbangan datang dan pergi dalam hati menyebarkan hama kebimbangan dan menggerogoti tunas keberanian. Ya, hanya dengan membasmi hama tersebut keberanian akan terus tumbuh subur. Azam yang tinggi dan tawakal kepada Allah Swt., adalah kunci utama untuk meraih kemenangan dalam pertempuran menuju proses pembiasaan.

Fenomena seperti ini sering dialami manusia dalam menjalani kehidupan. Perpindahan dari satu fase menuju fase yang lebih tinggi, selalu diiringi rasa gundah dan gelisah. Contoh ril yang sangat nyata adalah pengantin baru. Selama kurang lebih 25 tahun sang pria menjalani kehidupan seorang diri. akhirnya datanglah suatu masa dimana ia harus memasuki dunia baru, ia pasti akan merasakan gejolak dasyat dalam dirinya. Namun perasaan itu dapat diatasi seiring berjalannya waktu.

Siklus perpindahan jenjang marhalah manusia akan terus berlanjut hingga sampai di garis finish. Garis yang membuka gerbang dimensi lain yaitu alam kubur. Perjalanan manusia dari lahir hingga dewasa sangat penuh dengan lika-liku. Berbagai suasana timbul dan membuahkan pengalaman. Kenangan akan perjuangan hidup manusia akan selalu dikenang. Generasi penerus menjadikan pendahulu mereka kiblat dalam bergerak.

Hal baru yang dialami manusia merupakan variasi dalam proses menjalani kehidupan. Semakin banyak hal baru dialami, semakin indah dan bermakna kehidupan yang dijalankan. Tantangan hidup perlu dihadapi dengan ketegaran agar kita dapat menuju sebuah kemenangan. Cukuplah Nabi Muhammad Saw. sebagai panutan dalam mempelajari arti kegigihan. “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu, suri tauladan bagimu. Yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah…” (QS: Al Ahzab, 21). Wallahu a’lam
Read More

Posted by Abu Nashar Bukhari | Pada Selasa, Maret 23, 2010 | 0 komentar

Aku Benci Orang Mesir Part-2

Kairo, Juma't, 07. 55 Clt

Hari ini Aku, Aivan dan Yusuf berencana pergi bersama ke perpustakaan Kairo yang ada di daerah Tahrir. Kami berkumpul di depan gerbang dan langsung menuju halte untuk menunggu bus 926. Seperti sudah menjadi rahasia umum, menunggu di halte adalah hal yang paling membosankan. Hampir satu jam kami bertiga berdiri menunggu seperti patung, tapi bus itu pun tak kunjung datang.

Tanpa pikir panjang, kami langsung mencari taksi. Walaupun harus membayar berkali-kali lipat dari ongkos bus. Tapi dalam pandangan kami, itu lebih baik dari pada kami harus kehilangan waktu yang tentu lebih mahal.

Selama perjalanan kami tidak banyak berbicara, mungkin karena terlalu capek berdiri di halte. Aku dipaksa untuk duduk di kursi depan berdampingan dengan sopir yang pastinya adalah orang Mesir. Sebenarnya mereka berdua tau kalau aku tidak suka dengan orang Mesir. Sepertinya mereka sengaja berbuat demikian. Mereka memang terus berusaha mengubah pandangan negatifku, tapi mereka belum berhasil sampai saat ini. Bukan karena aku keras kepala. Namun, memang demikian fakta yang aku temukan di lapangan, mereka semua gak ada yang beres.


Taksi hitam putih tua melaju menyusuri jalan raya di Kairo. Pandanganku terus tertuju pada pemandangan yang ku lihat.
Gedung-gedung kotak berwarna coklat memang dominan di sini. Mobil-mobil tua terparkir tidak karuan di pinggir jalan. Lalulintas semrawut, lampu merah tidak dihiraukan. Pokoknya kacau.

Dalam batin aku berkata "Kok bisa aku berada di sini, di tempat seperti ini dan bersama orang-orang yang begini."

Aku menarik nafas panjang berusaha untuk menenangkan diri. Suasana di dalam taksi sepi, sunyi dan senyap tak satu pun diantara kami bertiga plus supir mengangkat suara. Hingga akhirnya orang yang duduk disampingku bertanya dengan nada sangat sopan

"Adek-adek ini sebenarnya mau kemana dan ada urusan apa di Tahrir?"

Aku tidak menghiraukan karena dalam benakku mungkin itu hanya basa-basi. Orang Mesir kan paling doyan basa-basi. Lain di bibir, lain di hati. Tapi tidak demikian dengan dua sahabatku yang duduk di belakang.

"Kami mau ke perpustakaan Kairo, Paman." Jawab Yusuf.

"Iya, kami ingin mencari referensi untuk tugas kuliah." Lanjut Aivan.

Sambil tersenyum, supir tersebut terus melanjutkan pembicaraan "Ooo…Jadi kalian ini mahasiswa di Al Azhar ya? Wah, beruntung ya kalian bisa belajar di sana. Sebenarnya paman juga ingin menjadi seperti kalian, tapi…"

Orang di sebelahku terus bercerita tentang dirinya yang ingin sekali kuliah di Al Azhar. Namun, karena keadaan yang tidak mendukung, ia akhirnya harus mengubur niatnya tersebut dan menjadi supir taksi demi membiayai ibu dan adik-adiknya. Sungguh dia memiliki tekad yang kuat. Dari caranya berbicara, sepertinya dia adalah orang yang sabar dan bertanggung jawab. Tapi, tetap aku tidak menghiraukannya.

"Paman! Stop…stop…stop… kami turun di sini saja." Pinta Aivan.

Kami bertiga turun. Karena sudah kesepakatan bersama, perjalan berangkat akulah yang bayar, maka langsung ku tanya supir itu:

"Berapa ongkosnya?"

"Gak usah dek! Paman sudah berjanji tidak akan memungut bayaran dari mahasiswa yang benar-benar belajar. Apalagi adek-adek ini datang dari negri yang sangat jauh. Semoga ilmu kalian bermanfaat."

Taksi butut yang kami tumpangi tadi langsung pergi setelah paman itu mengucapkan salam sambil tersenyum ramah. Dari tatapan matanya dapat ku lihat, sebenarnya paman itu ingin sekali melanjutkan studinya yang terputus.

Aku dan kedua sahabatku hanya bisa terheran-heran dengan kejadian tadi. Belum sempat kami mengucapkan salam dan terima kasih kepada paman itu. Kami hanya bisa mendoakan semoga Allah Swt. memudahkan segala urusannya di dunia dan di akhirat. Amin.

Kairo, Juma't, 09.35 Clt

Setelah berjalan kurang lebih dua puluh menit, akhirnya kami bertiga sampai di tempat yang kami tuju. Selama perjalanan, aku terus memikirkan kejadian tadi. Aku masih tidak percaya kalau ada orang Mesir yang seperti itu.

"Woi, mikirin apaan sih nt?" tanya Yusuf mengagetkanku.

"Eh… nggak!"

"Hayo… pasti mikirin kejadian tadi ya? Kaget ya kalau ada orang Mesir yang baek? Jangankan nt Ri, ane aja hampir gak percaya." Celetuk Aivan ceplas-ceplos seperti biasa.

Dalam batin aku bertanya "Atau jangan-jangan paman tadi bukan asli Mesir ya?"

Kami bertiga masuk kedalam gedung perpustakaan. Susananya memang agak sepi. Tidak terlalu banyak yang datang ke sini. Setelah berkeliling sebentar di depan meja informasi. Seorang ibu-ibu menghampiri kami.

"Maaf, adek-adek! Karena ini hari jum'at, maka perpustakaan baru dibuka nanti jam tiga siang." Sambil tersenyum ibu itu memberitahu kami. Kata-katanya sopan, beliau terlihat sangat ramah seperti menganggap kami adalah anak-anaknya.

"Kalau mau, adek-adek bisa istirahat dulu di rumah ibu sambil menunggu shalat jum'at. Rumah ibu ada di sebrang jalan."

"Terima kasih, bu! Kami ingin jalan-jalan saja di sekitar sungai Nil. Kebetulan juga kami ada keperluan lain."

"Ya sudah kalu begitu hati-hati ya! Ibu pamit dulu."

Lagi-lagi aku tidak percaya dengan yang aku alami hari ini. Apa aku sedang bermimpi?

"Ari, Aivan! Tanggal berapa ya sekarang? Kok bisa hari ini kita ketemu dua orang Mesir yang baek dan ramah banget?" Tanya Yusuf heran.

"Iya ya, kayaknya Allah mau kasih pelajaran buat Ari deh, hehehe… Masih nganggap semua orang Mesir gak beres Ri?" Tanya Aivan plus nyindir.

"Au ah gelap." Jawabku singkat.

Kairo, Juma't, 13. 25 Clt

Setelah shalat Jum'at di Masjid samping Hotel Hilton, kami bertiga kembali berjalan-jalan di sekitar sungai Nil. Kurang lebih setengah jam kami menikmati indahnya aliran Nil. Kapal-kapal berlalu-lalang dengan layar yang berwarna-warni. Dari atas kapal kami meliahat anak-anak kecil melambaikan tangan pada kami seraya mengucapkan "Selamat siang 'ammu!" dan kami balas itu semua dengan senyuman plus lambaian tangan. Mereka terlihat begitu senang.

"Eh… Kita pulang aja yuk! Besok deh kita kesini lagi." Pintaku kepada dua sahabatku.

Mereka berdua pun setuju dan kami langsung menuju halte bus. Ketika kami ingin menyebrang jalan, tiba-tiba…

Gubrak…

Disebrang jalan kami melihat nenek tua terjatuh ditabrak seseorang berkulit hitam dan berbadan tinggi, yang pasti dia bukan orang Mesir. Orang itu sepertinya sedang terburu-buru, ia pun tidak menghiraukan sang nenek dan meninggalkannya begitu saja. Nenek tersebut kira-kira berumur 65 tahun dan menggunakan busana muslim hitam. Seluruh tubuhnya tertutup rapi dengan sebuah tongkat di tangan kanannya.

Orang-orang Mesir yang ada di sekitar situ segera membantu sang nenek. Sebuah mobil sedan langsung berhenti dan menawarkan jasa untuk membawa nenek ke rumah sakit. Salah satu diantara mereka segera berlari dan mengejar orang hitam tadi, sedangkan yang lain ada yang membantu memapah nenek tersebut menuju mobil untuk segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Doa-doa demi keselamatan nenek tersebut terus terdengar dari mulut setiap orang yang berada di sana. "Rabbuna Yusahhil" "Rabbuna Yasyfiha" "Allahumma Ihfadzha".

Mereka terlihat begitu kompak dan perhatian. Rasa solidaritas tergambar begitu jelas dari apa yang kami lihat. Kami segera menuju tempat itu untuk memberikan sedikit bantuan apa yang kami bisa. Namun seorang bapak justru melarang kami dan berkata:

"Kalian tidak perlu repot-repot karena kalian adalah tamu kami di sini, terima kasih atas kepedulian kalian. Semoga dibalas oleh yang Maha Kuasa."
"Semoga Allah menjaga nenek tadi." Jawabku.

"Amin"

Kami bertiga kembali melanjutkan perjalanan ke halte. Hanya lima menit kami menunggu, bus 926 akhirnya datang. Selama perjalanan kami berbincang-bincang tentang kejadian tadi. Kami berharap semoga sang nenek baik-baik saja.

Bus kota jurusan Tahrir-Hay Sabi' itu terus melaju menyusuri jalan-jalan raya di kota Kairo. Entah mengapa, pemandangan sepanjang jalan pulang ini agak berbeda dengan apa yang ku lihat ketika berangkat. Gedung-gedung kotak berwarna coklat itu seakan tersenyum padaku. Mobil-mobil kotor yang terparkir di pinggir jalan seakan melambai-lambaikan tangan, sepertinya mereka ingin berkata "Hati-hati di jalan Ari!" Bahkan sampah yang berserakan terlihat seperti menari ria seiring dengan irama tiupan angin padang pasir yang berhembus. Mereka semua terlihat ceria dan bahagia ketika melihatku.

Kairo, Juma't, 20. 55 Clt

Karena sedikit lelah, setelah shalat isya aku langsung berbaring di atas kasur. Seperti biasa aku kembali mengingat semua yang telah ku lakukan hari ini. Senyuman paman supir taksi yang sangat ramah dan dermawan, perhatian seorang ibu yang kami jumpai di perpustakaan, lambaian tangan anak-anak kecil di sungai Nil, kejadian sang nenek hingga bapak yang sangat sopan dan menghormati kami. Semuanya tergambar jelas di benakku.
Tiba-tiba pikiranku melayang ke tanah air Indonesia. Apakah bisa aku menyaksikan hal-hal menakjubkan ini di Jakarta? Jika yang jatuh adalah nenekku, apakah beliau akan diperlakukan seperti ini? Apakah orang indonesia akan menghormati orang asing, sebagaimana bapak tua itu menghormati kami?

Tanpa sadar, aku meneteskan air mata. Bukan karena aku rindu dengan orang-orang yang kusayangi di Indonesia. Aku menyesal. Selama ini aku terlalu berburuk sangka terhadap orang-orang Mesir, dan benar apa yang selalu dikatakan kedua sahabatku bahwa tidak semua dari mereka seperti yang aku bayangkan. Ternyata aku salah menilai mereka selama ini. Kalau tidak karena kebaikan mereka, tidak mungkin aku, Aivan, Yusuf dan semua mahasiswa asing lainnya dapat belajar di sini. Kami semua diberi tempat tinggal dan beasiswa. Kami diperlakukan seperti anak-anak mereka.

"Ya, Allah! Terima kasih engkau telah membuka mata hatiku."

Tak satupun orang di dunia ini yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah Swt.. Setiap orang pasti memiliki sisi gelap, namun tidak bisa dipungkiri ia juga pasti memiliki sisi terang. Seharusnya aku bisa lebih adil dalam menilai siapapun, apapun dan dimanapun.

"Atahgfirullah"

"Atahgfirullah"

"Atahgfirullah."

Read More

Posted by Abu Nashar Bukhari | Pada Selasa, Maret 16, 2010 | 4 komentar

Aku Benci Orang Mesir Part-1

Kairo, Kamis, 05.15 Clt

Udara pagi Kairo terasa begitu menusuk tulang. Angin musim dingin pun bertiup kencang, seakan menghalang-halangi setiap mahasiswa di asrama yang ingin beranjak dan pergi ke masjid untuk shalat shubuh berjamaah. Hangatnya selimut dan empuknya kasur menjadi pilihan terakhir. Aku pun terus terlelap dalam mimpi-mimpi indahku hingga akhirnya…

Kriiiiiiiing… kriiiiiiiing…

Jam waker pemberian ibuku berdering menunjukkan pukul 05.15 pagi waktu Kairo. Aku terbangun dan langsung menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Belum selesai aku membasuh kedua kaki, aku mendengar suara dari speaker masjid

"Assalamualaikum warahmatullah… assalamualaikum warahmatullah."

"Huff… Astaghfirullah, telat lagi telat lagi" kataku dalam batin.

Kairo, Kamis, 06.10 Clt

"Shadaqallhul adzim" Aku letakkan Al Qur'an di atas meja dan seperti biasa, setelah membacanya aku pergi ke suthuh (atap) gedung dimana aku tinggal untuk menikmati indahnya pemandangan pagi kota Kairo. Kuarahkan pandanganku ke arah barat, kulihat rumah-rumah kubus khas arab tersusun rapi di atas bukit indah Daweaqah. Jalan-jalan raya terlihat sepi hanya satu atau dua mobil saja yang berlalu-lalang. Sang mentari mulai terbangun dari tidurnya dan siap untuk menyinari dunia. Namun tetap aktivitas masyarakat di sini belum dimulai.

Pikiranku terbang dan melayang ke negri-negri lain. Kubayangkan apakah Jepang, Singapore dan China juga seperti ini?

"Jangankan Jepang, Indonesia saja tidak seperti ini." Batinku menjawab.

Walaupun Indonesia jauh berada di bawah Jepang, namun dalam hal ini Indonesia tidak terlalu berbeda. Di Indonesia, bisa kita lihat para pedangang sudah memulai aktivitasnya sejak dini hari. Pasar-pasar ramai. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, jalan-jalan raya sudah ramai sebelum matahari terbit. Para pegawai kantoran sudah bersiap-siap untuk bekerja sejak shubuh.
HPku bergetar...

"Halo, assalamualaikum…"

"Wa'alaikum salam, sehat Ri?

"Alhamdulillah… sehat, ada apa Van?"

"Ri… berangkat kuliah kan? Bareng ya, ntar kita ketemu depan gerbang"

"Insya Allah, ane tunggu jam 07.30 ya di sana!"

"ok."

Aivan adalah sahabatku, dia berasal dari Padang. Kami satu rombongan ketika berangkat ke Mesir. Sekarang kami duduk di tingkat IV Fakultas Ushuluddin di Al Azhar University.

Kairo, Kamis, 07.40 Clt

Aku sudah berada di depan gerbang asrama. Tapi, Aivan belum juga datang. Entah mengapa, hari ini aku merasa tidak begitu bersemangat. Aku merasa bosan menjalani aktivitas yang monoton di Mesir. Aku malas, tiap hari harus berdesak-desakan dalam bus kota. Apalagi kalau kecopetan. Tiap hari aku harus berusaha sabar menghadapi watak kasar orang mesir. Mereka suka berteriak-teriak, tidak punya sopan santun dan cepat marah. Yang jelas dalam pandanganku semua orang Mesir sama. Mereka kasar, pemarah, malas dan tidak disiplin.

"Ri…! Sorry aku telat, tadi ada telpon dari Indonesia jadi aku harus…"

"Iya, iya... santai aja"

"Eh…tu ada bus 80 coret. Yuk, siap-siap."

"Wah tumben kok gak lama ya... Biasanya harus nunggu berjam-jam dulu baru bisa dapat bus ini."

"Hehehe…itu gara-gara nt berangkat kuliah bareng ane."

"Cuih… dasar dah telat, ke-PD-an lagi."

"Peace bro! becanda, kayak nggak tau ane aja?"

Bus 80 coret meluncur menuju kawasan Darasah dimana kampus kami berada. Seperti biasa bus ini penuh. Yah, maklumlah namanya juga bus favorit mahasiswa asing atau lebih tepat dikatakan bus internasional, karena yang ada dalam bus ini mayoritas adalah duta-duta bangsa. Ada mahasiswa Afrika dengan warna kulitnya yang khas. Ada yang dari China, India, Pakistan, Bangladesh, Malaysia, Thailand, Rusia dan yang pasti mahasiswa Indonesia juga ada. Kadang aku berfikir dunia ini begitu sempit, Kok bisa mereka berkumpul di dalam bus ini?

Tapi yang jelas, mereka tidak seperti orang Mesir. Buktinya mereka rela meninggalkan saudara-saudara tercinta demi menimba ilmu di sini. Itu berarti mereka rajin dan disiplin. Mereka juga ramah dan tidak cepat marah.

"Woi Ri! Nt kenapa bengong? Gak baik ngelamun pagi-pagi."

"Eh…nggak."

"Ayo turun dah nyampe nih. Ntar kita telat lagi."

Kami pun langsung menuju ruang kuliah untuk mengikuti pelajaran. Untuk hari ini kami punya empat mata kuliah. Semuanya akan diujikan pada termin pertama. Jadi, mau tidak mau kami harus hadir sampai akhir.

Kairo, Kamis, 16. 15 Clt

Menjelang sore hari, mata kuliah keempat akhirnya selesai. Semua mahasiswa bersiap-siap untuk pulang ke tempat tinggal masing-masing.

"Huff…capek juga ya…! Eh Van, shalat ashar dulu yuk!"

"Yup, kita shalat di masjid Al Azhar ya, Ri."

"Ok."

Masjid Al Azhar merupakan masjid terbesar di kawasan Darasah. Selain arsitekturnya yang indah, masjid ini juga memiliki nilai sejarah. Sebelum kampus Al Azhar dibangun, aktivitas belajar dulunya diadakan di sini. Dari masjid ini juga lahir ulama-ulama ternama seperti Ibnu Hajar Al 'Asqolani.

Setelah shalat ashar berjama'ah, Aku dan Aivan duduk-duduk di teras masjid sambil istirahat. Aku pun meluruskan kaki untuk menghilangkan capek dan tiba-tiba…

"Aaaaw…!"

"Woooi… Punya mata nggak sih nt, kalo jalan yang bener dong!" Aku marah dan berteriak-teriak kepada orang Mesir yang menginjak kakiku. Tapi dia cuek dan langsung pergi seperti tidak terjadi apa-apa.

"Van! Liat, kayak gini nih sifat orang Mesir. Makannya dari awal ane dah gak suka bergaul sama mereka. Mereka angkuh, kasar dan gak sopan. Nt liat sendiri kan?"

"Sabar Ri! gak semua orang Mesir begitu kok. Mungkin dia lagi buru-buru."

"Sabar sih sabar Van, tapi masa dia gak nengok blas. Kampret…!"

"Ri, istighfar…!" Aivan agak sedikit mengangkat suaranya. "Kalau nt marah dan kasar sama dia, apa bedanya nt dengan orang Mesir yang nt bilang angkuh, pemarah dan tidak sopan?"

Aku terdiam setelah mendengar teguran atau mungkin bisa dibilang nasehat dari sahabatku. Dia juga akhirnya demikian setelah beristighfar dan minta maaf padaku. Sejenak kami saling diam, hingga akhirnya kami melihat dari arah gerbang masjid, seorang mahasiswa Indonesia melambaikan tangannya pada kami.

"Aivan, Ari apa kabar?"

Dia adalah Yusuf. Aku dan Aivan mengenalnya karena kami memang satu angkatan. Dia orang nya pintar, nilai mata kuliahnya juga bagus-bagus. Kami sering meminjam buku catatannya karena dia paling rajin hadir kuliah diantara kami bertiga.

"Pulang yuk! Dah sore nih." Ajak Yusuf.

"Ayok, dari pada di sini nemenin orang Indo yang lagi marah gak karuan, mendingan pulang. Hehehe…" Jawab Aivan ceplas-ceplos sekenanya.

"Van! Awas nt ya, gak ana bayarin ongkos pulang lo…" balasku sambil bercanda.

"Biarin, emang gue pikirin. Kan ada Yusuf yang bayarin, hehehe…"

"Woooi, tungguin! Ane jangan ditinggal dong." Teriakku sambil setengah berlari.

Akhirnya kami pulang bersama. Suasana kembali cair. Sepanjang jalan kami bertiga bercerita tentang banyak hal. Tapi, yang pasti bukan tentang orang Mesir karena mereka tau aku tidak begitu suka dengan orang Mesir. Terkadang aku sadar kalau sikapku memang berlebihan. Tapi itulah yang tiap hari aku temukan. Hanya sisi negatif orang Mesir yang aku dapatkan selama ini.

Kairo, Kamis, 22. 15 Clt

Seperti biasa, aku kembali mengingat apa yang telah aku lakukan hari ini. Aku selalu mengevaluasi kegiatanku sebelum tidur. Tiba-tiba aku teringat akan kejadian di masjid Al Azhar. Kembali perasaan tidak sukaku terhadap orang Mesir timbul. Namun aku juga ingat kata-kata sahabatku:

"Kalau nt marah dan kasar sama dia, apa bedanya nt dengan orang Mesir yang nt bilang angkuh, pemarah dan tidak sopan?"

Aku hanya bisa merenungi kejadian hari ini. Timbul pertanyaan dalam hati, apakah selama ini aku salah menilai mereka? Ya Allah, berilah petunjuk-Mu pada hamba yang lemah ini. Sambil terus merenung, tak terasa dunia semakin gelap. Udara semakin dingin. Asrama pun mulai terlihat sunyi dan senyap. Aku pun terlelap.

To be continued...
Read More

Posted by Abu Nashar Bukhari | Pada Sabtu, Maret 13, 2010 | 5 komentar

Tersayat Waktu

Manusia adalah makhluk yang lemah dan mudah terlena. Dalam sekejap, keindahan dunia dapat menutup pintu logika akal dan hati mereka. Nafsu setan pun berkuasa. Mereka menganggap dunia adalah segalanya, seakan lupa bahwa sesungguhnya di balik keindahan semu duniawi terdapat suatu masa yang kekal dan abadi.

Di sebuah desa terpencil terdapat seorang pemuda yang sangat sayang dengan ayam peliharaannya. Pada suatu hari, ayam tersebut sakit. Ia pun bingung setengah mati dan langsung pergi ke dokter. Tanpa menunggu lama, ia pun langsung memberitahukan apa yang terjadi dan dialami ayam kesayangannya. Sang dokter berkata “Nak, kamu punya onta merah merah di rumah?” Si pemuda hanya menganggukkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata. “Kalau begitu, sekarang kamu pulang dan sembelih onta tersebut. Kemudian kamu rebus. Setelah itu, kamu minumkan kaldunya kepada ayam ini.” Saran sang dokter. Pemuda itu bingung, lalu berkata “Dok, masa saya harus mengorbankan onta yang harganya ratusan juta hanya untuk ayam ini?” dengan tenang sang dokter menjawab “Beginilah perumpamaan mereka yang mengorbankan akhirat demi dunia.”

Kisah inspiratif di atas menunjukkan kerugian besar bagi mereka yang mengedepankan nikmat dunia dan melupakan akhirat. Karena sesungguhnya dunia ini hanyalah terminal kehidupan, tempat manusia singgah sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan.

Kehidupan manusia di dunia dibatasi oleh waktu yang sangat kejam. Ia tidak pernah pandang bulu dalam bermuamalah. Orang kaya, miskin, terpelajar ataupun mereka yang tertinggal mendapatkan porsi yang sama. Mereka semua memiliki 24 jam dalam sehari, 720 jam dalam sebulan dan 8760 jam dalam setahun. Bahkan, mereka tidak diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu, walau hanya satu detik. Maka, tidaklah heran jika sebagian orang menjadikan waktu sebagai icon keadilan.

Dalam sebuah artikel, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A. mengutip sebuah ungkapan dari buku Syuruth An-Nahdhah karangan Malik bin Nabi. Ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi Saw. tersebut berbunyi:

Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru “Putra-putri Adam, aku adalah waktu, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi hingga hari kiamat.”

Kemudian, tulis Malik Bin Nabi lebih lanjut: Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala. Melintasi pulau, kota dan desa. Membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Segala sesuatu –selain Tuhan- tidak akan mampu melepaskan diri darinya.

Islam sangat memperhatikan waktu, bahkan menganjurkan seluruh penganutnya agar dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Begitu besar peran waktu dalam kehidupan, hingga Allah Swt. berkali-kali bersumpah dalam Al Quran dengan menggunakan berbagai kata yang menunjukkan waktu-waktu tertentu, seperti wal ‘ashr (Demi masa), wal fajr (Demi fajar), wal laili idzâ yaghsyâ (Demi malam apabila menutupi –cahaya siang-) dan lain sebagainya.

Rasul Saw. juga selalu memperingatkan para sahabatnya agar selalu memperhatikan waktu. Dalam kitab-kitab hadis, dapat kita temukan segudang riwayat yang menjelaskan hal ini. Diantaranya, sebuah hadis dari riwayat Al Baihaqi, yang menyuruh umat muslim agar selalu ingat dan memanfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara lainnya, hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, luang sebelum sibuk, muda sebelum tua dan kaya sebelum miskin.

Semua manusia berada dalam keadaan merugi, apabila tidak mengisi waktunya dengan perbuatan baik. Manusia akan mendapatkan hasil yang setimpal atas segala yang dilakukannya di muka bumi. Perbuatan baik berbuah kenikmatan, perbuatan buruk menghasilkan siksaan. Maka, selagi waktu masih terbentang, seorang muslim dituntut untuk selalu mempersiapkan bekal. Dan sebaik-baiknya bekal adalah ketakwaan pada Sang Pencipta.

Kendati demikian, banyak manusia yang terlena dengan waktu. Mereka berleha-leha dalam menjalani hidup dan lupa bahwa porsi waktu mereka tiap hari kian berkurang. Tanpa disadari, manusia terus berjalan menuju garis finish kehidupan. Menghadapi rintangan goadaan setan yang menggiurkan. Di sinilah kepekaan manusia akan ajaran tuhan diuji. Apakah mereka akan menggapai kemenangan? Ataukah mereka termasuk golongan yang merugi?

Allah Swt. berfirman: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, saling menasehati agar mentaati kebenaran dan saling menasehati agar menetapi kesabaran.” Wallâhu a’lam bi ash shâwab.
Read More

Posted by Abu Nashar Bukhari | Pada Senin, Maret 08, 2010 | 3 komentar

Antara Demokrasi dan Islam

Demokrasi yang diterapkan di berbagai negara termasuk negara muslim, sampai saat ini masih dianggap sebagai sebuah sistem yang memberikan jalan keluar bagi permasalahan masyarakat, khususnya dalam hal pengaturan kepemimpinan dan kemaslahatan. Akan tetapi, dalam penerapannya, sistem ini mengalami beberapa penyesuaian dan perubahan sehingga kata “Demokrasi” dapat diartikan dengan makna yang beragam. Dalam artikel Gus Dur yang berjudul “Demokrasi Dalam Pengertian Kita”, dikatakan bahwa kata “Demokrasi” bagi para pemikir di negara-negara maju (Advanced Caountries) dalam bidang teknologi, dianggap bermakna demokrasi liberal. Selain itu, ada juga yang mengartikan demokrasi sebagai wujud adanya kekuatan-kekuatan politik yang tidak saling bertentangan di sebuah negara.

Dalam buku “Aliran dan Madzhab Pemikiran Modern”, Dr. Thaha Hubaisyi menjelaskan bahwa kata tersebut memiliki arti yang beragam, sesuai dengan sudut pandang dalam memahaminya. Demokrasi dalam sistem perekonomian sering disebut dengan kapitalisme. Sedangkan dalam pemahaman sosial, demokrasi lebih dikenal dengan libelarisme yang mengusung persamaan dan kebebasan dalam berpikir dan perpendapat.  Demokrasi juga dapat diartikan sebagai persamaan hak dan kebebasan dalam hubungan internasional antar negara, sebagaimana demokrasi juga memiliki arti sebagai sebuah sistem yang dibentuk, dijalankan dan dimaksudkan untuk kepentingan rakyat.

Dilihat dari sejarahnya, kata demokrasi berasal dari bahasa yunani. Gagasan ini merupakan produk budaya Yunani Kuno, dan dikenalkan untuk pertama kalinya di kota Athena dan Sparta seperti yang tertulis dalam buku “Aliran Pemikiran Modern” karangan Muhammad Quthub. Adapun dalam perjalanannya, sistem demokrasi mengalami beberapa perkembangan hingga sampai ditangan para pemikir muslim dan timbullah gagasan seperti demokrasi islam.

Pendapat Ulama Muslim Tentang Demokrasi

Para ulama dan pemikir muslim memiliki pendapat yang berbeda dalam menyikapi dan memandang sistem demokrasi. Dalam buku “Agama dan Politik” karangan Dr. Yusuf Al Qordhowy dijelaskan, secara umum sikap ulama dan pemikir muslim terhadap demokrasi terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Kelompok yang menolak sistem demokrasi secara keseluruhan

Kelompok ini berpendapat bahwa antara sistem demokrasi dan islam terdapat jarak yang sangat jauh bagaikan langit dan bumi. Perbedaan antara keduanya pun tidak bisa ditolerir sebagaimana perbedaan air dan api, sehingga dengan tegas mereka menolak sistem demokrasi dengan berbagai alasan, diantaranya sebagai berikut:

Pertama, Dalam demokrasi, wakil rakyat yang duduk di bangku parlemen dipilih oleh semua orang dan golongan tanpa memandang status sosial, derajat, kelayakan dan tingkat keilmuan. Sedangkan dalam islam, mereka yang diperbolehkan mengikuti musyawarah adalah para ulama dan kaum intelektual yang dipilih oleh Khalifah.

Kedua, tolak ukur sebuah kebenaran dalam sistem demokrasi adalah jumlah suara mayoritas. Ketika sebuah keputusan didukung oleh sebagian besar peserta sidang, maka keputusan tersebut disahkan dan dianggap benar. Walaupun pada hakekatnya, belum tentu pendapat yang didukung oleh suara mayoritas adalah benar. Sedangkan dalam islam, yang menjadi penentu benar atau salahnya sebuah keputusan adalah Al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. dan bukan jumlah suara.

Ketiga, islam berasal dari Allah Swt. dan merupakan hukum Tuhan. Sedangkan sistem demokrasi merupakan buah pikiran manusia yang mengatur hukum dari manusia dan untuk manusia. Maka, tidaklah layak seorang muslim lebih mengedepankan hukum manusia dan mengesampingkan hukum Tuhan.

Keempat, demokrasi merupakan produk sekulerisme barat yang memisahkan antara agama dan urusan negara, juga merupakan hasil pemikiran kaum atheis yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Demokrasi adalah hal baru dalam agama karena dalam sejarah umat islam terdahulu tidak didapati istilah dan sistem demokrasi.

2. Kelompok yang mendukung demokrasi secara utuh

Mereka berpendapat bahwa demokrasi barat adalah obat mujarab untuk menyelesaikan segala permasalahan bangsa, tanpa membedakan antara demokrasi dalam arti liberalisme, kapitalisme dan sekulerisme.

Kelompok ini menghendaki diterapkannya sebuah sistem pemerintahan dengan asas kebebasan berekspresi, berfikir, berinovasi tanpa larangan dari pihak manapun termasuk agama. Dalam kata lain, mereka menginginkan adanya pemisahan antara politik dengan agama, dan pembersihan campur tangan agama dalam bidang ekonomi, militer, akademis dan segala yang bersangkutan dengan negara.

Para pengikut gagasan ini tersihir oleh kemajuan peradaban barat yang semu, sehingga ketika melihat kondisi umat islam yang terpuruk, timbullah gagasan untuk men-taqlid negara-negara maju dalam seluruh sisi kehidupan mereka dengan harapan dapat mewujudkan sebuah perkembangan yang signifikan.

3. Kelompok moderat

Kelompok ini berada di antara dua kelompok diatas. Mereka memandang bahwa demokrasi tidak harus ditolak secara keseluruhan ataupun sebaliknya. Karena pada hakekatnya, substansi sistem demokrasi hampir sesuai dengan apa yang diajarkan islam dalam mengatur maslahat masyarakat dalam hal kenegaraan. Inti dan maksud demokrasi adalah menjadikan masyarakat memilih pemimpin yang layak bagi mereka, dan tidak memperbolehkan adanya pemimpin yang dibenci oleh rakyat atau pemimpin yang menjerumuskan rakyat pada jurang kebodohan dan kemaksiatan.

Dalam sistem demokrasi, masyarakat memiliki sarana untuk memantau kinerja pemimpin dan dapat menegur apabila terdapat kesalahan dalam keputusan. Bahkan jika keadaan memaksa agar diadakannya pencabutan amanat, maka dengan sarana tersebut masyarakat dapat melaksanakannya dengan damai dan tanpa pertikaian karena keputusan tersebut dibangun diatas kesepakatan bersama.

Kelompok ini membedakan antara demokrasi dalam bidang ekonomi yang sering disebut dengan kapitalisme, dan demokrasi dalam bidang sosial atau liberalisme serta demokrasi dalam bidang politik. Mereka memandang liberalisme dan kapitalisme lebih banyak mengandung mudharat dan tidak selaras dengan ajaran islam yang menuntun penganutnya pada sebuah kesejahteraan dan kemajuan. Sedangkan demokrasi dalam bidang politik juga tidak diterima secara mentah-mentah. Akan tetapi diperlukan adanya proses filterisasi.

Pendapat yang menolak demokrasi karena sistem ini merupakan barang import dari barat, tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Karena mengadopsi beberapa gagasan yang bermanfaat bukanlah hal yang tercela. Adapun perkara yang dilarang adalah mengambil tanpa proses filterisasi, artinya segala gagasan dan buah pemikiran barat kita ambil baik itu bermanfaat atau bahkan membahayakan umat islam, dengan anggapan bhawa tindakan tersebut dapat mewujudkan peradaban yang modern dan maju.

Selain itu, penolakan terhadap demokrasi dengan anggapan bahwa sistem ini adalah produk akal manusia dan bukan dari Allah Swt., tidak bisa diterima begitu saja. Tidak semua yang berasal dari akal manusia adalah hal yang tercela, bahkan dalam beberapa ayat Al Quran, Allah Swt. memerintahkan hamba-Nya untuk menggunakan akal dalam berfikir, bertadabbur, berijtihad serta menciptakan inovasi demi terwujudnya kesejahteraan manusia di muka bumi. Walaupun demikian, hasil pemikiran akal manusia perlu diricek, apakah ijtihad tersebut bertentangan dengan syariat ataukah sejalan dengannya? Demokrasi yang notabene adalah produk akal manusia pada intinya menyeru pada beberapa hal yang diajarkan islam, diantanya adalah prinsip dasar syura, saling menasehati dalam kebenaran, penegakan keadilan dan kesejahteraan serta penolakan terhadap segala bentuk kezaliman dan kerusakan.

Bahkan, anggapan bahwa demokrasi adalah ketentuan hukum dari rakyat, tidak mesti dipahami bahwa demokrasi berlawanan dan bertentangan dengan hukum Allah. Akan tetapi, yang dimaksud dari hukum rakyat adalah penolakan terhadap hukum pribadi mutlak atau otoriter dan diktator yang tidak memperdulikan kemaslahatan rakyat, seperti yang terjadi di Jerman pada masa Adolf Hitler, diktatorisme Batista di Kuba dan masa orde baru di Indonesia. Masyarakat yang tinggal dalam sebuah negara dengan sistem pemerintahan diktator, tidak mendapatkan kebebasan dan kesejahteraan yang layak. Sistem demokrasi dibentuk untuk menggantikan jenis sistem pemerintahan tersebut (Diktatorisme, monarkhi dll), dan bukan untuk melawan ketentuan dan hukum Tuhan.

Menyikapi Perbedaan Pendapat Mengenai Demokrasi

Pada hakekatnya, setiap kelompok menghendaki terwujudnya peradaban islam yang lebih maju, akan tetapi cara yang ditempuh oleh masing-masing kelompok berbeda. Mereka yang menolak demokrasi secara total berpendapat bahwa kemajuan peradaban Islam dapat terwujud hanya dengan kembali kepada Al Quran dan Sunnah. Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang digunakan oleh negara, haruslah sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Gagasan ini merupakan hal yang sangat mulia. Sebagai seorang muslim, tentunya kita sepakat dengan pendapat ini. Akan tetapi, pendukung gagasan ini terkadang tidak terlalu memperhatikan situasi dan kondisi yang ada, sehingga dalam penerapannya banyak menghadapi hambatan dan tentangan dari golongan yang tidak sependapat dengan mereka.

Dan kelompok yang setuju 100% dengan demokrasi beranggapan bahwa untuk memajukan sebuah peradaban, maka haruslah kita mengikuti apa yang telah dilakukan negara-negara dengan peradaban maju. Baik itu dari segi gaya hidup atau pun sistem pemerintahan. Pendapat ini tentunya tidak bisa kita terima begitu saja. Karena konsekwensi mengadopsi kehidupan masyarakat barat saat ini tanpa filterisasi, akan sangat tidak selaras dengan ajaran Islam. Ada beberapa hal dalam peradaban mereka yang tidak bisa ditolerir dalam Islam, seperti pemisahan antara pemerintahan dan agama, kebebasan mutlak dll. Selain itu, dapat dipahami dari pendapat kelompok ini, bahwasannya mereka seakan lebih mengedepankan hukum manusia dan mengesampingkan apa yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Mengetahui.

Sedangkan kelompok moderat, tujuan dan target kelompok ini sama dengan kelompok pertama yaitu memajukan peradaban Islam dengan sistem yang sesuai dengan syariat. Dan yang membedakan adalah, kelompok ini lebih memperhatikan situasi dan jeli dalam memanfaatkan kondisi. Perlahan tapi pasti, inilah yang dilakukan oleh mereka. Dalam perjalannya, kelompok ini tetap menghadapi hambatan dan tantangan, akan tetapi gerak dan langkah mereka terlihat lebih cantik sehingga masih dapat diterima oleh kalangan masyarakat baik kawan maupun lawan.

Keterlibatan pendukung kelompok ini dalam sistem demokrasi bukan berarti mereka ingin menerapkan demokrasi 100%, atau beranggapan bahwa demokrasi adalah sistem yang terbaik dan mengesampingkan apa yang telah disyariatkan Allah Swt.. Kelompok ini sadar bahwa sistem Islam lebih utama dari demokrasi, tanpa menafikan adanya beberapa hal dalam demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam, walaupun dalam porsi yang tidak begitu besar. Akan tetapi kondisi pemerintahan negara, yang menjadikan mereka mengambil langkah perlahan dan terus berusaha menjaga keputusan dan kebijakan parlemen agar tidak menyimpang dan menentang ajaran Islam.

Sebagai contoh, dapat kita lihat kiprah mereka dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Kondisi masyarakat Indonesia yang plural dan suasana perpolitikannya yang sangat kental dengan demokrasi, menjadikan beberapa ulama dan pemikir Islam mengambil langkah untuk terjun ke dalam sistem tersebut, dengan tujuan menjaga kebijakan dan tentunya secara perlahan berusaha mengenalkan dan menetapkan sistem yang islami dalam pemerintahan. Di antara hasil usaha mereka adalah digulirkannya undang-undang pendidikan dan anti pornografi.
Namun sangat disayangkan, terdapat beberapa golongan –dari kalangan muslim- yang tidak mendukung langkah tersebut bahkan mencaci-maki mereka, dengan alasan “yang benar tidak bisa dicampur dengan yang batil”. Bukankah sebaliknya, langkah yang telah mereka usahakan seperti tersebut sebelumnya patut kita hargai?

Bisa dibayangkan bersama, apa yang akan terjadi jika tidak ada seorang pun dari mereka yang duduk di bangku parlemen? Apa jadinya jika tidak ada seorang pun dari anggota parlemen yang paham akan kandungan Al Quran dan Sunnah, memahami syariat dengan benar dan memiliki semangat membela agama Allah.? Apakah kaum muslim Indonesia ingin menjadikan negara mereka seperti Andalusia pasca jatuhnya pemerintahan Islam? Apakah mereka sudah lupa dengan kondisi Islam pada masa orde lama dan orde baru? Jika hal ini terjadi, niscaya generasi penerus bangsa ini tidak akan lagi mengenal agamanya.

Sikap terjun ke dalam demokrasi dan ikut bermain di dalamnya dengan tujuan tersebut diatas, tentunya memiliki mashlahat dan mudhârat. Namun, akal sehat seorang muslim dapat menimbang dan memahami bahwa mashlahat dalam sikap tersebut tentunya lebih besar dari pada mudhârat-nya. Oleh karena itu, perlu diteliti ulang judgment beberapa golongan yang mengatakan bahwa sikap tersebut adalah haram bahkan perlu diperangi. Karena sesungguhnya sikap acuh terhadap langkah ini, justru akan menimbulkan mudhârat yang sangat besar bagi masyarakat muslim dan Islam itu sendiri. Bukankah salah satu sebab diharamkannya khamr adalah karena di dalamnya terdapat mudhârat yang lebih besar dari manfaatnya?

Kesimpulan dan Penutup
Pintu perbedaan pendapat mengenai demokrasi masih terbuka lebar. Akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut. Jika umat muslim tidak bisa saling menghormati dalam perbedaan ini, maka persatuan islam akan sangat sulit untuk terwujud.
Agama islam tidak melarang adanya perbedaan, selagi itu tidak memicu pada perpecahan umat. Dalam beberapa literatur klasik islam, dapat kita jumpai perbedaan pendapat para sahabat ra., tabiin dan generasi setelah mereka yang terdiri dari ulama salaf as shalih. Mereka semua sadar akan perbedaan tersebut. Namun, mereka tetap saling menghormati. Selain itu, Islam juga menyerukan pada pengikutnya untuk saling menasehati dan tidak memcaci sesama muslim. Dengan dasar ini, alangkah lebih baik kita -muslim Indonesia- mendukung dan mengingatkan saudara-saudara muslim yang diberi amanat menduduki bangku parlemen untuk tetap memegang syariat dan terus memperhatikan kebaikan bagi Islam dan penganutnya, dari pada kita mencaci dan memusuhi mereka, bahkan menghalangi langkah yang melakukan.

Mendahulukan ketentuan hukum dan sistem yang telah ditetapkan Allah Swt. tentunya merupakan kewajiban setiap muslim. Karena, hanya Dia-lah yang mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Namun melihat realita kondisi negara-negara muslim saat ini, tentunya kita dituntut untuk berpikir logis dan strategis. Wallahu a’lam bi ash shawab.
Read More

Posted by Abu Nashar Bukhari | Pada Senin, Maret 01, 2010 | 2 komentar