Antara Demokrasi dan Islam

Demokrasi yang diterapkan di berbagai negara termasuk negara muslim, sampai saat ini masih dianggap sebagai sebuah sistem yang memberikan jalan keluar bagi permasalahan masyarakat, khususnya dalam hal pengaturan kepemimpinan dan kemaslahatan. Akan tetapi, dalam penerapannya, sistem ini mengalami beberapa penyesuaian dan perubahan sehingga kata “Demokrasi” dapat diartikan dengan makna yang beragam. Dalam artikel Gus Dur yang berjudul “Demokrasi Dalam Pengertian Kita”, dikatakan bahwa kata “Demokrasi” bagi para pemikir di negara-negara maju (Advanced Caountries) dalam bidang teknologi, dianggap bermakna demokrasi liberal. Selain itu, ada juga yang mengartikan demokrasi sebagai wujud adanya kekuatan-kekuatan politik yang tidak saling bertentangan di sebuah negara.

Dalam buku “Aliran dan Madzhab Pemikiran Modern”, Dr. Thaha Hubaisyi menjelaskan bahwa kata tersebut memiliki arti yang beragam, sesuai dengan sudut pandang dalam memahaminya. Demokrasi dalam sistem perekonomian sering disebut dengan kapitalisme. Sedangkan dalam pemahaman sosial, demokrasi lebih dikenal dengan libelarisme yang mengusung persamaan dan kebebasan dalam berpikir dan perpendapat.  Demokrasi juga dapat diartikan sebagai persamaan hak dan kebebasan dalam hubungan internasional antar negara, sebagaimana demokrasi juga memiliki arti sebagai sebuah sistem yang dibentuk, dijalankan dan dimaksudkan untuk kepentingan rakyat.

Dilihat dari sejarahnya, kata demokrasi berasal dari bahasa yunani. Gagasan ini merupakan produk budaya Yunani Kuno, dan dikenalkan untuk pertama kalinya di kota Athena dan Sparta seperti yang tertulis dalam buku “Aliran Pemikiran Modern” karangan Muhammad Quthub. Adapun dalam perjalanannya, sistem demokrasi mengalami beberapa perkembangan hingga sampai ditangan para pemikir muslim dan timbullah gagasan seperti demokrasi islam.

Pendapat Ulama Muslim Tentang Demokrasi

Para ulama dan pemikir muslim memiliki pendapat yang berbeda dalam menyikapi dan memandang sistem demokrasi. Dalam buku “Agama dan Politik” karangan Dr. Yusuf Al Qordhowy dijelaskan, secara umum sikap ulama dan pemikir muslim terhadap demokrasi terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Kelompok yang menolak sistem demokrasi secara keseluruhan

Kelompok ini berpendapat bahwa antara sistem demokrasi dan islam terdapat jarak yang sangat jauh bagaikan langit dan bumi. Perbedaan antara keduanya pun tidak bisa ditolerir sebagaimana perbedaan air dan api, sehingga dengan tegas mereka menolak sistem demokrasi dengan berbagai alasan, diantaranya sebagai berikut:

Pertama, Dalam demokrasi, wakil rakyat yang duduk di bangku parlemen dipilih oleh semua orang dan golongan tanpa memandang status sosial, derajat, kelayakan dan tingkat keilmuan. Sedangkan dalam islam, mereka yang diperbolehkan mengikuti musyawarah adalah para ulama dan kaum intelektual yang dipilih oleh Khalifah.

Kedua, tolak ukur sebuah kebenaran dalam sistem demokrasi adalah jumlah suara mayoritas. Ketika sebuah keputusan didukung oleh sebagian besar peserta sidang, maka keputusan tersebut disahkan dan dianggap benar. Walaupun pada hakekatnya, belum tentu pendapat yang didukung oleh suara mayoritas adalah benar. Sedangkan dalam islam, yang menjadi penentu benar atau salahnya sebuah keputusan adalah Al Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. dan bukan jumlah suara.

Ketiga, islam berasal dari Allah Swt. dan merupakan hukum Tuhan. Sedangkan sistem demokrasi merupakan buah pikiran manusia yang mengatur hukum dari manusia dan untuk manusia. Maka, tidaklah layak seorang muslim lebih mengedepankan hukum manusia dan mengesampingkan hukum Tuhan.

Keempat, demokrasi merupakan produk sekulerisme barat yang memisahkan antara agama dan urusan negara, juga merupakan hasil pemikiran kaum atheis yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Demokrasi adalah hal baru dalam agama karena dalam sejarah umat islam terdahulu tidak didapati istilah dan sistem demokrasi.

2. Kelompok yang mendukung demokrasi secara utuh

Mereka berpendapat bahwa demokrasi barat adalah obat mujarab untuk menyelesaikan segala permasalahan bangsa, tanpa membedakan antara demokrasi dalam arti liberalisme, kapitalisme dan sekulerisme.

Kelompok ini menghendaki diterapkannya sebuah sistem pemerintahan dengan asas kebebasan berekspresi, berfikir, berinovasi tanpa larangan dari pihak manapun termasuk agama. Dalam kata lain, mereka menginginkan adanya pemisahan antara politik dengan agama, dan pembersihan campur tangan agama dalam bidang ekonomi, militer, akademis dan segala yang bersangkutan dengan negara.

Para pengikut gagasan ini tersihir oleh kemajuan peradaban barat yang semu, sehingga ketika melihat kondisi umat islam yang terpuruk, timbullah gagasan untuk men-taqlid negara-negara maju dalam seluruh sisi kehidupan mereka dengan harapan dapat mewujudkan sebuah perkembangan yang signifikan.

3. Kelompok moderat

Kelompok ini berada di antara dua kelompok diatas. Mereka memandang bahwa demokrasi tidak harus ditolak secara keseluruhan ataupun sebaliknya. Karena pada hakekatnya, substansi sistem demokrasi hampir sesuai dengan apa yang diajarkan islam dalam mengatur maslahat masyarakat dalam hal kenegaraan. Inti dan maksud demokrasi adalah menjadikan masyarakat memilih pemimpin yang layak bagi mereka, dan tidak memperbolehkan adanya pemimpin yang dibenci oleh rakyat atau pemimpin yang menjerumuskan rakyat pada jurang kebodohan dan kemaksiatan.

Dalam sistem demokrasi, masyarakat memiliki sarana untuk memantau kinerja pemimpin dan dapat menegur apabila terdapat kesalahan dalam keputusan. Bahkan jika keadaan memaksa agar diadakannya pencabutan amanat, maka dengan sarana tersebut masyarakat dapat melaksanakannya dengan damai dan tanpa pertikaian karena keputusan tersebut dibangun diatas kesepakatan bersama.

Kelompok ini membedakan antara demokrasi dalam bidang ekonomi yang sering disebut dengan kapitalisme, dan demokrasi dalam bidang sosial atau liberalisme serta demokrasi dalam bidang politik. Mereka memandang liberalisme dan kapitalisme lebih banyak mengandung mudharat dan tidak selaras dengan ajaran islam yang menuntun penganutnya pada sebuah kesejahteraan dan kemajuan. Sedangkan demokrasi dalam bidang politik juga tidak diterima secara mentah-mentah. Akan tetapi diperlukan adanya proses filterisasi.

Pendapat yang menolak demokrasi karena sistem ini merupakan barang import dari barat, tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Karena mengadopsi beberapa gagasan yang bermanfaat bukanlah hal yang tercela. Adapun perkara yang dilarang adalah mengambil tanpa proses filterisasi, artinya segala gagasan dan buah pemikiran barat kita ambil baik itu bermanfaat atau bahkan membahayakan umat islam, dengan anggapan bhawa tindakan tersebut dapat mewujudkan peradaban yang modern dan maju.

Selain itu, penolakan terhadap demokrasi dengan anggapan bahwa sistem ini adalah produk akal manusia dan bukan dari Allah Swt., tidak bisa diterima begitu saja. Tidak semua yang berasal dari akal manusia adalah hal yang tercela, bahkan dalam beberapa ayat Al Quran, Allah Swt. memerintahkan hamba-Nya untuk menggunakan akal dalam berfikir, bertadabbur, berijtihad serta menciptakan inovasi demi terwujudnya kesejahteraan manusia di muka bumi. Walaupun demikian, hasil pemikiran akal manusia perlu diricek, apakah ijtihad tersebut bertentangan dengan syariat ataukah sejalan dengannya? Demokrasi yang notabene adalah produk akal manusia pada intinya menyeru pada beberapa hal yang diajarkan islam, diantanya adalah prinsip dasar syura, saling menasehati dalam kebenaran, penegakan keadilan dan kesejahteraan serta penolakan terhadap segala bentuk kezaliman dan kerusakan.

Bahkan, anggapan bahwa demokrasi adalah ketentuan hukum dari rakyat, tidak mesti dipahami bahwa demokrasi berlawanan dan bertentangan dengan hukum Allah. Akan tetapi, yang dimaksud dari hukum rakyat adalah penolakan terhadap hukum pribadi mutlak atau otoriter dan diktator yang tidak memperdulikan kemaslahatan rakyat, seperti yang terjadi di Jerman pada masa Adolf Hitler, diktatorisme Batista di Kuba dan masa orde baru di Indonesia. Masyarakat yang tinggal dalam sebuah negara dengan sistem pemerintahan diktator, tidak mendapatkan kebebasan dan kesejahteraan yang layak. Sistem demokrasi dibentuk untuk menggantikan jenis sistem pemerintahan tersebut (Diktatorisme, monarkhi dll), dan bukan untuk melawan ketentuan dan hukum Tuhan.

Menyikapi Perbedaan Pendapat Mengenai Demokrasi

Pada hakekatnya, setiap kelompok menghendaki terwujudnya peradaban islam yang lebih maju, akan tetapi cara yang ditempuh oleh masing-masing kelompok berbeda. Mereka yang menolak demokrasi secara total berpendapat bahwa kemajuan peradaban Islam dapat terwujud hanya dengan kembali kepada Al Quran dan Sunnah. Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang digunakan oleh negara, haruslah sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Gagasan ini merupakan hal yang sangat mulia. Sebagai seorang muslim, tentunya kita sepakat dengan pendapat ini. Akan tetapi, pendukung gagasan ini terkadang tidak terlalu memperhatikan situasi dan kondisi yang ada, sehingga dalam penerapannya banyak menghadapi hambatan dan tentangan dari golongan yang tidak sependapat dengan mereka.

Dan kelompok yang setuju 100% dengan demokrasi beranggapan bahwa untuk memajukan sebuah peradaban, maka haruslah kita mengikuti apa yang telah dilakukan negara-negara dengan peradaban maju. Baik itu dari segi gaya hidup atau pun sistem pemerintahan. Pendapat ini tentunya tidak bisa kita terima begitu saja. Karena konsekwensi mengadopsi kehidupan masyarakat barat saat ini tanpa filterisasi, akan sangat tidak selaras dengan ajaran Islam. Ada beberapa hal dalam peradaban mereka yang tidak bisa ditolerir dalam Islam, seperti pemisahan antara pemerintahan dan agama, kebebasan mutlak dll. Selain itu, dapat dipahami dari pendapat kelompok ini, bahwasannya mereka seakan lebih mengedepankan hukum manusia dan mengesampingkan apa yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Mengetahui.

Sedangkan kelompok moderat, tujuan dan target kelompok ini sama dengan kelompok pertama yaitu memajukan peradaban Islam dengan sistem yang sesuai dengan syariat. Dan yang membedakan adalah, kelompok ini lebih memperhatikan situasi dan jeli dalam memanfaatkan kondisi. Perlahan tapi pasti, inilah yang dilakukan oleh mereka. Dalam perjalannya, kelompok ini tetap menghadapi hambatan dan tantangan, akan tetapi gerak dan langkah mereka terlihat lebih cantik sehingga masih dapat diterima oleh kalangan masyarakat baik kawan maupun lawan.

Keterlibatan pendukung kelompok ini dalam sistem demokrasi bukan berarti mereka ingin menerapkan demokrasi 100%, atau beranggapan bahwa demokrasi adalah sistem yang terbaik dan mengesampingkan apa yang telah disyariatkan Allah Swt.. Kelompok ini sadar bahwa sistem Islam lebih utama dari demokrasi, tanpa menafikan adanya beberapa hal dalam demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam, walaupun dalam porsi yang tidak begitu besar. Akan tetapi kondisi pemerintahan negara, yang menjadikan mereka mengambil langkah perlahan dan terus berusaha menjaga keputusan dan kebijakan parlemen agar tidak menyimpang dan menentang ajaran Islam.

Sebagai contoh, dapat kita lihat kiprah mereka dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Kondisi masyarakat Indonesia yang plural dan suasana perpolitikannya yang sangat kental dengan demokrasi, menjadikan beberapa ulama dan pemikir Islam mengambil langkah untuk terjun ke dalam sistem tersebut, dengan tujuan menjaga kebijakan dan tentunya secara perlahan berusaha mengenalkan dan menetapkan sistem yang islami dalam pemerintahan. Di antara hasil usaha mereka adalah digulirkannya undang-undang pendidikan dan anti pornografi.
Namun sangat disayangkan, terdapat beberapa golongan –dari kalangan muslim- yang tidak mendukung langkah tersebut bahkan mencaci-maki mereka, dengan alasan “yang benar tidak bisa dicampur dengan yang batil”. Bukankah sebaliknya, langkah yang telah mereka usahakan seperti tersebut sebelumnya patut kita hargai?

Bisa dibayangkan bersama, apa yang akan terjadi jika tidak ada seorang pun dari mereka yang duduk di bangku parlemen? Apa jadinya jika tidak ada seorang pun dari anggota parlemen yang paham akan kandungan Al Quran dan Sunnah, memahami syariat dengan benar dan memiliki semangat membela agama Allah.? Apakah kaum muslim Indonesia ingin menjadikan negara mereka seperti Andalusia pasca jatuhnya pemerintahan Islam? Apakah mereka sudah lupa dengan kondisi Islam pada masa orde lama dan orde baru? Jika hal ini terjadi, niscaya generasi penerus bangsa ini tidak akan lagi mengenal agamanya.

Sikap terjun ke dalam demokrasi dan ikut bermain di dalamnya dengan tujuan tersebut diatas, tentunya memiliki mashlahat dan mudhârat. Namun, akal sehat seorang muslim dapat menimbang dan memahami bahwa mashlahat dalam sikap tersebut tentunya lebih besar dari pada mudhârat-nya. Oleh karena itu, perlu diteliti ulang judgment beberapa golongan yang mengatakan bahwa sikap tersebut adalah haram bahkan perlu diperangi. Karena sesungguhnya sikap acuh terhadap langkah ini, justru akan menimbulkan mudhârat yang sangat besar bagi masyarakat muslim dan Islam itu sendiri. Bukankah salah satu sebab diharamkannya khamr adalah karena di dalamnya terdapat mudhârat yang lebih besar dari manfaatnya?

Kesimpulan dan Penutup
Pintu perbedaan pendapat mengenai demokrasi masih terbuka lebar. Akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut. Jika umat muslim tidak bisa saling menghormati dalam perbedaan ini, maka persatuan islam akan sangat sulit untuk terwujud.
Agama islam tidak melarang adanya perbedaan, selagi itu tidak memicu pada perpecahan umat. Dalam beberapa literatur klasik islam, dapat kita jumpai perbedaan pendapat para sahabat ra., tabiin dan generasi setelah mereka yang terdiri dari ulama salaf as shalih. Mereka semua sadar akan perbedaan tersebut. Namun, mereka tetap saling menghormati. Selain itu, Islam juga menyerukan pada pengikutnya untuk saling menasehati dan tidak memcaci sesama muslim. Dengan dasar ini, alangkah lebih baik kita -muslim Indonesia- mendukung dan mengingatkan saudara-saudara muslim yang diberi amanat menduduki bangku parlemen untuk tetap memegang syariat dan terus memperhatikan kebaikan bagi Islam dan penganutnya, dari pada kita mencaci dan memusuhi mereka, bahkan menghalangi langkah yang melakukan.

Mendahulukan ketentuan hukum dan sistem yang telah ditetapkan Allah Swt. tentunya merupakan kewajiban setiap muslim. Karena, hanya Dia-lah yang mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Namun melihat realita kondisi negara-negara muslim saat ini, tentunya kita dituntut untuk berpikir logis dan strategis. Wallahu a’lam bi ash shawab.

Posted by Abu Nashar Bukhari | Pada Senin, Maret 01, 2010

2 komentar:

AMan Hasibuan mengatakan...

Hhmm... Artikelnya menarik. Aartikel2 semacam ini perlu dibaca oleh para politikus. Tanda jempol buat penulis..

BNIS PIK mengatakan...

Apapun pilihannya, kedamaian tetap jadi tujuan utama kita sebagai rakyat.
Salam kenal!

Posting Komentar