Tersayat Waktu

Manusia adalah makhluk yang lemah dan mudah terlena. Dalam sekejap, keindahan dunia dapat menutup pintu logika akal dan hati mereka. Nafsu setan pun berkuasa. Mereka menganggap dunia adalah segalanya, seakan lupa bahwa sesungguhnya di balik keindahan semu duniawi terdapat suatu masa yang kekal dan abadi.

Di sebuah desa terpencil terdapat seorang pemuda yang sangat sayang dengan ayam peliharaannya. Pada suatu hari, ayam tersebut sakit. Ia pun bingung setengah mati dan langsung pergi ke dokter. Tanpa menunggu lama, ia pun langsung memberitahukan apa yang terjadi dan dialami ayam kesayangannya. Sang dokter berkata “Nak, kamu punya onta merah merah di rumah?” Si pemuda hanya menganggukkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata. “Kalau begitu, sekarang kamu pulang dan sembelih onta tersebut. Kemudian kamu rebus. Setelah itu, kamu minumkan kaldunya kepada ayam ini.” Saran sang dokter. Pemuda itu bingung, lalu berkata “Dok, masa saya harus mengorbankan onta yang harganya ratusan juta hanya untuk ayam ini?” dengan tenang sang dokter menjawab “Beginilah perumpamaan mereka yang mengorbankan akhirat demi dunia.”

Kisah inspiratif di atas menunjukkan kerugian besar bagi mereka yang mengedepankan nikmat dunia dan melupakan akhirat. Karena sesungguhnya dunia ini hanyalah terminal kehidupan, tempat manusia singgah sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan.

Kehidupan manusia di dunia dibatasi oleh waktu yang sangat kejam. Ia tidak pernah pandang bulu dalam bermuamalah. Orang kaya, miskin, terpelajar ataupun mereka yang tertinggal mendapatkan porsi yang sama. Mereka semua memiliki 24 jam dalam sehari, 720 jam dalam sebulan dan 8760 jam dalam setahun. Bahkan, mereka tidak diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu, walau hanya satu detik. Maka, tidaklah heran jika sebagian orang menjadikan waktu sebagai icon keadilan.

Dalam sebuah artikel, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A. mengutip sebuah ungkapan dari buku Syuruth An-Nahdhah karangan Malik bin Nabi. Ungkapan yang dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi Saw. tersebut berbunyi:

Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru “Putra-putri Adam, aku adalah waktu, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi hingga hari kiamat.”

Kemudian, tulis Malik Bin Nabi lebih lanjut: Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala. Melintasi pulau, kota dan desa. Membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Segala sesuatu –selain Tuhan- tidak akan mampu melepaskan diri darinya.

Islam sangat memperhatikan waktu, bahkan menganjurkan seluruh penganutnya agar dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Begitu besar peran waktu dalam kehidupan, hingga Allah Swt. berkali-kali bersumpah dalam Al Quran dengan menggunakan berbagai kata yang menunjukkan waktu-waktu tertentu, seperti wal ‘ashr (Demi masa), wal fajr (Demi fajar), wal laili idzâ yaghsyâ (Demi malam apabila menutupi –cahaya siang-) dan lain sebagainya.

Rasul Saw. juga selalu memperingatkan para sahabatnya agar selalu memperhatikan waktu. Dalam kitab-kitab hadis, dapat kita temukan segudang riwayat yang menjelaskan hal ini. Diantaranya, sebuah hadis dari riwayat Al Baihaqi, yang menyuruh umat muslim agar selalu ingat dan memanfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara lainnya, hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, luang sebelum sibuk, muda sebelum tua dan kaya sebelum miskin.

Semua manusia berada dalam keadaan merugi, apabila tidak mengisi waktunya dengan perbuatan baik. Manusia akan mendapatkan hasil yang setimpal atas segala yang dilakukannya di muka bumi. Perbuatan baik berbuah kenikmatan, perbuatan buruk menghasilkan siksaan. Maka, selagi waktu masih terbentang, seorang muslim dituntut untuk selalu mempersiapkan bekal. Dan sebaik-baiknya bekal adalah ketakwaan pada Sang Pencipta.

Kendati demikian, banyak manusia yang terlena dengan waktu. Mereka berleha-leha dalam menjalani hidup dan lupa bahwa porsi waktu mereka tiap hari kian berkurang. Tanpa disadari, manusia terus berjalan menuju garis finish kehidupan. Menghadapi rintangan goadaan setan yang menggiurkan. Di sinilah kepekaan manusia akan ajaran tuhan diuji. Apakah mereka akan menggapai kemenangan? Ataukah mereka termasuk golongan yang merugi?

Allah Swt. berfirman: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, saling menasehati agar mentaati kebenaran dan saling menasehati agar menetapi kesabaran.” Wallâhu a’lam bi ash shâwab.

Posted by Abu Nashar Bukhari | Pada Senin, Maret 08, 2010

3 komentar:

Unknown mengatakan...

suka banget ama cerita onta merah itu. sebuah perumpamaan yg sarkastik^^

TS Frima mengatakan...

tulisan yang inspiratif :)

Abu Nashar Bukhari mengatakan...

Mayaddah: Thanks banget... Moga Si Onta & Ayam bisa trus mengingatkan kita...
Ra-Kun: Semoga bisa bermanfaat buat evaluasi diri

Posting Komentar